Yang memprihatinkan, sang istri kini lebih banyak mengunci diri di rumah bersama anak-anaknya yang masih SD dan TK. Ia tidak bekerja.
Saya bertanya kepada tetangga terdekat, dari mana kemudian makan sehari-hari dia dapatkan?
Tetangga yang juga Ketua RW di sana menyebut, warga siap membantu. Namun, sejauh ini keluarga itu belum pernah meminta bantuan kepada warga. Ia masih memiliki orangtua yang tinggal di kota yang sama.
Istri tersangka korupsi juga tak pernah kelihatan pasca-suaminya ditahan KPK. Dua kali ia terlihat setiap hari: saat mengantar dan menjemputnya anaknya di sekolah.
Rumah tersangka kedua yang saya datangi di Kota Malang juga terletak di sebuah gang. Bedanya, ini adalah rumah sendiri, peninggalan orang tua, bukan rumah kontrakan. Nilai korupsinya sama, Rp 12 juta.
Kali ini saya bertemu dengan anaknya yang tengah berjuang mencari kerja. Ia tak menyelesaikan S-1. Kuliahnya putus di tengah jalan sebelum ayahnya ditahan. Bekalnya mencari kerja hanya ijazah SMA.
Ia mengaku menyesal tidak menyelesaikan kuliah. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga dalam kondisi tidak bekerja. Susah mencari kerja hanya bermodal ijazah SMA, kata dia.
Beban sebagai tulang punggung keluarga berat. Ia harus menghidupi 3 keluarga yaitu neneknya, keluarga intinya, dan satu adik ayahnya. Tak ada yang bekerja di sana. Sang anak masih terus berusaha.
Andai saja bapak-bapak anggota DPRD yang terhormat itu bisa berpikir tentang dampak yang disebabkan oleh perbuatannya, barangkali ia menahan diri atas godaan uang Rp 12 juta.
Tapi sekali lagi, Rp 1 atau Rp 1 triliun, korupsi tetapkah korupsi. Mereka sudah berlaku tidak jujur. Menurut undang-undang, mereka telah mengkhianati rakyat. Keluarga mereka kini menjadi korbannya.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!