Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Petani Madu Kelulut dan Sulitnya Mendapatkan Madu Pahit (2)

Kompas.com - 10/09/2018, 11:15 WIB
Heru Dahnur ,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANGKA BARAT, KOMPAS.com - Potensi lebah madu tersebar di sejumlah desa di Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung.

Dua desa yang saat ini mulai berkembang dengan madunya, yakni Desa Pelangas dan Desa Pangkal Beras. Kedua desa tersebut bahkan secara terbuka telah mengklaim sebagai desa madu. Namun begitu, jenis madu yang dihasilkan berbeda.

Desa Pelangas terkenal dengan madu alam liarnya. Sementara Desa Pangkal Beras mulai bergerak dengan madu hasil budidaya. Masyarakat setempat menyebut madu budidaya ini sebagai madu kelulut.

Kompas.com yang melakukan penelusuran di lapangan menemukan fakta bahwa lebah madu kelulut tidak menyengat manusia. Namun pengunjung harus tetap berhati-hati karena lebah madu ini suka hinggap di kepala dan masuk di sela rambut.

Selain itu, lebah madu kelulut ada yang berukuran besar dan ada yang berukuran kecil. Kelulut sendiri bagi masyarakat Bangka berarti pelaket (perekat). Sementara di Sumatera Barat disebut galo-galo.

Petani madu kelulut, Saidin mengatakan, saat ini di Desa Pangkal Beras terdapat sedikitnya 1.000 koloni budidaya madu kelulut.

Baca juga: Kisah Petani Penghasil Madu Liar, Berburu Panen Sebelum Hujan Tiba (1)

Usaha madu tersebut diusahakan secara perorangan dengan jumlah pembudidaya sebanyak 19 petani.

"Kotak untuk setiap koloni kami buat sendiri. Posisinya disusun berjejer atau berkelompok. Agar kawanannya bisa lebih banyak," kata Saidin saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (9/9/2018).

Saidin mengungkapkan, budidaya madu kelulut tergolong sederhana dan lokasinya bisa dengan sistem tumpang sari di kebun karet atau nangka.

"Satu koloni bisa menghasilkan setengah liter madu. Kami bisa panen sebulan sekali," ujar Saidin yang telah memiliki 300 koloni.

Keberadaan para petani madu menarik perhatian KPHP Unit I Rambat Menduyung yang menginduk pada Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah V Palembang.

Kelompok tani hutan dipersiapkan agar kawasan hutan lindung dan konservasi ikut dijaga masyarakat.

Selama ini, sumber asupan bagi lebah liar maupun budidaya berasal dari bunga pepohonan yang tumbuh lebat sepanjang tahun.

"Harapan kami ada bantuan pembuatan koloni. Semakin banyak koloni kan hasilnya juga banyak," sebut Saidin.

Madu pahit

Jika selama ini madu dikenal dengan rasanya yang manis, maka di Bangka kita bisa menemukan madu pahit hutan pelawan.

Madu pahit merupakan madu langka yang masa panennya membutuhkan tingkat kejelian yang tinggi.

Pasalnya, madu pahit hanya dihasilkan dari bunga pohon pelawan yang masa berseminya pada waktu tertentu saja.

Kepala Desa Pelangas, Welly Wahyudi mengatakan, rasa madu kerap dipengaruhi jenis bunga yang dihinggapi lebah.

"Daerah ini hutan pelawannnya sangat luas, jadi bisa menghasilkan madu pahit pelawan. Untuk memanen biasanya ada pawang yang sudah berpengalaman," beber Welly.

Dia mengungkapkan, madu pahit hutan pelawan harganya bisa mencapai 3 kali lipat dari harga madu manis. Masa panen yang terbatas membuat madu ini sulit didapatkan.

"Saat bunga pohon pelawan mekar, biasanya madu pahit akan ada. Jangan sampai tercampur dengan musim bunga pohon yang lain, rasanya berubah," paparnya.

Baca juga: Berkah Labu Madu, Pekarangan Kosong Pun Kini Semanis Madu

Tercatat saat ini luas hutan lindung dalam pengawasan KPHP Rambat Menduyung mencapai 12.035 hektar dan 42.459 hektar hutan produksi.

Masyarakat diberi ruang untuk budidaya madu maupun tanaman tumpang sari seperti serai wangi dan kunyit tanpa mengubah bentang alamnya (morfologi).

Kompas TV Bepergian ke Bali, jangan lupa untuk mencoba makanan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com