Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Jaton dan Pesan Merawat Kearifan Lokal di Tengah Perubahan Zaman

Kompas.com - 02/09/2018, 12:19 WIB
Rosyid A Azhar ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.com  – “Maesa-esaan, maleo-leosanmasawang-sawangan, matombo-tomboloan, wero kawitan eling pungkasan,” kata ketua Kerukunan Keluarga Jaton Indonesia (KKJI), Ali Hardi Kiyai Demak dengan suara lantang di tengah kerumunan ribuan orang Jawa Tondano (Jaton) di arena Festival Seni Budaya Jawa Tondano (Fesbujaton) ke-13 di Kota Gorontalo.

Kalimat ini terlontar sebagai pesan kepada masyarakat Jaton di mana pun mereka hidup.

Pesan ini memang terasa aneh, sebab menggunakan dua bahasa, Tondano dan Jawa, namun ribuan orang yang mendengarkan sangat mafhum dengan maknanya.

Pesan moral itu bermakna untuk saling bersatu, saling mengasihi dan menyayangi,  saling tolong, saling menopang, dan memahami diri sebagai cara untuk dapat selamat di dunia dan akhirat.

Baca juga: Festival Seni Budaya Jaton, Perekat Keberagaman Masyarakat

Sebelumnya, Ali Hardi Kiayi Demak menegaskan bahwa masyarakat Jaton adalah bagian dari diaspora suku jawa yang sudah tersebar di mana-mana.

“Sejarah mencatat para embah (kakek) kita adalah kesatria Indonesia yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk melawan ketidakadilan, kewenang-wenangan, penindasan,” kata Ali Hardi Kiayi Demak.

Leluhur orang Jaton adalah 63 orang kombatan perang Jawa yang dipimpin Kiyai Modjo. Jumlah ini adalah sisa dari banyak tawanan perang yang dikirim ke Tondano, sebagian dari mereka diperkirakan meninggal dalam perjalanan di kapal.

Sebagian besar pria ini kemudian menikah dengan para gadis Minahasa, hingga lahirlah masyarakat Jaton sekarang yang memiliki kebudayaan unik dan khas.

Pernikahan pertama kesatria Perang Jawa dengan gadis Minahasa adalah saat Residen Manado, Pietermaat meminang Walak Tonsea Lama, Runtupalit Rumbayan untuk menjodohkan Ety Rumbayan yang biasa dipanggil wurenga  (17)  dengan Tumenggung Zees Pajang (20).

Baca juga: Bakdo Kupat, Simbol Persatuan Dalam Keragaman Masyarakat Jaton

Inilah pernikahan pertama yang meriah, dengan pesta berhari-hari, mengundang para walak dari berbagai daerah di Minahasa. Tari-tarian Minahasa dan Jawa dipersembahkan untuk kedua mempelai.

Yang menarik, meskipun pernikahan dilakukan secara Islam, namun pesta adat Minahasa tetap digelar, keterpaduan budaya  yang elok.

Pesta ini dihadir kaum muda Minahasa dari berbagai daerah, di sinilah perjumpaan unik yang menautkan hati gadis-gadis setempat dengan mantan prajurit Perang Diponegoro, dan melahirkan pernikahan-pernikahan dua suku ini.

Setelah itu menyusul Ghazali (anak Kiyai Modjo) dengan putri bungsu Opo Tombokan pendiri negeri Tondano di Uluna, Tumenggung Reksonegoro dan Tumenggung Bratayuda menjadi menantu Opo Tumbelaka dari Amurang (sekarang masuk Minahasa Selatan), dan Ngiso menikah dengan putri Opo Pakasi Warouw.

Baca juga: Ribuan Masyarakat Jaton Hadiri Festival Seni Budaya Jawa Tondano

Dari rahim wanita Minahasa generasi Jaton menjadi besar seperti saat ini, mereka mewarisi kebudayaan yang unik, termasuk bahasa seperti yang diucapkan oleh Ketua KKIJ, Ali Hardi Kiyai Demak.

Bahasa Jaton

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com