Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikan berlimpah, Para Ibu di Kampung Taver Fakfak Produksi Abon untuk Biaya Sekolah Anak

Kompas.com - 01/09/2018, 12:31 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

FAKFAK,Kompas,com – Ibu-ibu di Kampung Taver mengolah abon ikan laut hasil tangkapan para nelayan di Pulau Arguni.

Keuntungan dari penjualan abon ikan tersebut mereka gunakan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya dan membeli peralatan rumah tangga.

Tak tanggung-tanggung, setiap 3 bulan sekali, ibu-ibu yang bergabung dalam kelompok Safunit Jaya ini bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 27 juta.

Ketua Kelompok Safunit Jaya Nursai Baue (44) mengungkapkan, aktivitas ini sudah mereka lakukan sejak 3 tahun terakhir.

Awalnya, mereka bekerja di ladang menanam kacang tanah untuk diolah menjadi selai kacang lalu dijual ke luar pulau.

Namun, mereka banting sentir mengolah abon ikan setelah melihat peluang berlimpahnya hasil tangkapan ikan para suami yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan.

“Saat itu kami dapat pelatihan membuat produk ikan termasuk pentolan juga. Tapi tidak awet akhirnya kami fokus pada pembuatan abon ikan kering. Sehingga bisa disimpan tidak langsung harus dijual Jadi kemungkinan rugi kecil,” jelas ibu enam anak itu, kepada Kompas.com, Sabtu (25/8/2018).

Dalam sekali produksi, mereka menggunakan ikan segar sebanyak 100 kilogram. Ikan yang digunakan juga bermacam-macam, disesuaikan dengan hasil tangkapan nelayan.

Abon ikan hasil produksi ibu-ibu di Pulau ArguniKOMPAS.COM/Ira Rachmawati Abon ikan hasil produksi ibu-ibu di Pulau Arguni

Ikan yang biasa digunakan seperti ikan tengiri, ikan kakap merah, ikan mulut tikus atau ikan bubara.

Ikan tersebut mereka beli dengan harga antara Rp 15 ribu per kilogram, hingga termahal ikan kakap merah yang mencapai Rp 35 ribu per kilogram.

Dari sebanyak 40 kilogram ikan segar, akan diperoleh 11 kilogram abon ikan kering yang kemudian dikemas dengan bungkus plastik kemasan kecil dan besar.

“Untuk kemasan kecil harganya Rp 25 ribu sedangkan yang besar Rp 50 ribu. Di kemasan juga kami kasih keterangan abon tersebut dibuat dari ikan apa. Jadi yang konsumsi tahu apakah tengiri atau ikan kakap merah,” jelas Nursai.

Selain abon, ibu-ibu ini juga membuat ikan asin. Biasanya, untuk ikan asin, dibutuhkan ikan segar mencapai 300 sampai 500 kilogram sekali pengolahan.

Satu minggu sekali, minimal mereka melakukan 3 kali pengolahan abon ikan dan ikan asin.

“Untuk penjualannya biasanya pembeli langsung ke sini atau kami menjualnya ke distrik Kokas yang terdekat. Harus menyeberang pulau. Kadang juga kami titipkan ke outlet penjualan yang ada di di Fakfak atau Bintuni. Banyak orderan kadang kami kewalahan dan juga stok ikan yang cepat habis. Karena nelayan di sini juga menyuplai ikan konsumsi ke perusahaan yang dekat sini,” kata Nursai.

Sementara itu, Sahroni, suami Nursai, mengungkapkan, selalu mencari ikan untuk kebutuhan kelompok perempuan yang diketuai oleh istrinya.

Ibu-ibu di Pulau Arguni sedang menyiapkan abon ikan kering hasil produksi merekaKOMPAS.COM/Ira Rachmawati Ibu-ibu di Pulau Arguni sedang menyiapkan abon ikan kering hasil produksi mereka

Dalam semalam, rata-rata dia bisa mendapatkan ikan sebanyak 500 kilogram yang kemudian diolah oleh istri dan rekan-rekan kelompoknya.

“Saya akan suplai kebutuhan istri dulu. Mereka beli secara profesional. Per kilo sekitar Rp 35 ribu. Jadi bukan karena beli di suami lalu ditawar dan beli murah. Tidak ada itu. Toh uangnya juga kembali ke istri untuk kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anak,” kata laki-laki yang akrab dipanggi Oni tersebut sambil tertawa.

Jumilah Serbunit (44), ibu 8 anak, salah satu anggota kelompok Safunit Jaya, mengatakan, setiap pengeluaran uang dan pendapatan mereka akan dicatat.

Maksimal 6 bulan sekali, mereka akan mengambil modal awal sebesar Rp 5 juta untuk biaya produksi. Sisanya akan dibagi untuk para anggota kelompok.

“Kalau keuntungan yang saya dapat biasanya masuk ke Bank Papua untuk simpanan anak-anak kuliah. Atau ada yang lebih akan saya belikan barang semacam kompor, tempat tidur atau almari. Jadi buat pengingat barang ini dulu beli hasilnya buat abon ikan,” kata Jumilah Serbunit.

Ia mengaku, awalnya bekerja di ladang menanam kacang tanah, lalu mengolahnya menjadi selai kacang.

Kemudian, Jumilah beralih ke abon ikan karena keuntungannya lebih besar dan bahan utamanya tersedia di laut.

Sementara, saat mengolah selai kacang, harus menunggu minimal 3 bulan untuk mengolahnya menjadi selai kacang.

“Kacang tanah per kaleng dihargai Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu dan masih harus menunggu 3 bulan dulu baru panen. Belum lagi banyak kambing yang mengganggu. Jika mengolah abon ikan ini untungnya bisa dua kali lipat,” kata Jumilah.

Mereka mengolah abon disela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.

“Biasanya anak-anak ikut membantu atau main-main saja disekitar rumah. Jadi saya masih bisa mengawasi mereka sambil bekerja,” kata Jumilah.

Kompas TV Nike Lidiyastuti kini meluaskan bisnisnya ke Makassar, Surabaya, Hingga Jayapura.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com