Sementara itu, Sahroni, suami Nursai, mengungkapkan, selalu mencari ikan untuk kebutuhan kelompok perempuan yang diketuai oleh istrinya.
Dalam semalam, rata-rata dia bisa mendapatkan ikan sebanyak 500 kilogram yang kemudian diolah oleh istri dan rekan-rekan kelompoknya.
“Saya akan suplai kebutuhan istri dulu. Mereka beli secara profesional. Per kilo sekitar Rp 35 ribu. Jadi bukan karena beli di suami lalu ditawar dan beli murah. Tidak ada itu. Toh uangnya juga kembali ke istri untuk kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anak,” kata laki-laki yang akrab dipanggi Oni tersebut sambil tertawa.
Jumilah Serbunit (44), ibu 8 anak, salah satu anggota kelompok Safunit Jaya, mengatakan, setiap pengeluaran uang dan pendapatan mereka akan dicatat.
Maksimal 6 bulan sekali, mereka akan mengambil modal awal sebesar Rp 5 juta untuk biaya produksi. Sisanya akan dibagi untuk para anggota kelompok.
“Kalau keuntungan yang saya dapat biasanya masuk ke Bank Papua untuk simpanan anak-anak kuliah. Atau ada yang lebih akan saya belikan barang semacam kompor, tempat tidur atau almari. Jadi buat pengingat barang ini dulu beli hasilnya buat abon ikan,” kata Jumilah Serbunit.
Ia mengaku, awalnya bekerja di ladang menanam kacang tanah, lalu mengolahnya menjadi selai kacang.
Kemudian, Jumilah beralih ke abon ikan karena keuntungannya lebih besar dan bahan utamanya tersedia di laut.
Sementara, saat mengolah selai kacang, harus menunggu minimal 3 bulan untuk mengolahnya menjadi selai kacang.
“Kacang tanah per kaleng dihargai Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu dan masih harus menunggu 3 bulan dulu baru panen. Belum lagi banyak kambing yang mengganggu. Jika mengolah abon ikan ini untungnya bisa dua kali lipat,” kata Jumilah.
Mereka mengolah abon disela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.
“Biasanya anak-anak ikut membantu atau main-main saja disekitar rumah. Jadi saya masih bisa mengawasi mereka sambil bekerja,” kata Jumilah.