Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkat Mie Kering Rumput Laut, Ibu-ibu di Sarawondori Papua Mampu Kuliahkan Anak

Kompas.com - 27/08/2018, 12:07 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KEPULAUAN YAPEN, KOMPAS.com - Rosmina Karobaba (41) terlihat memasukkan mie kering dalam kemasan plastik sedangkan Novalina Wahana (39) bertugas menata kemasan yang telah berisi mie kering hasil buatan kelompok mereka ke dalam sebuah keranjang.

Aktivitas tersebut dilakukan kedua perempuan asli Kepulauan Yapen, Papua, di salah satu rumah kayu di tepi teluk Sarawondori di Distrik Kosiwara, Kabupaten Kepulauan Yapen, Minggu (19/8/2018).

Sembari melakukan pengepakan mie, kedua perempuan tersebut juga mengawasi anak-anaknya bermain di sekitar pelantaran tempat mereka bekerja.

Pengepakan mie kering rumput laut tersebut dilakukan setiap pagi hari setelah mereka selesai menyelesaikan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga di rumahnya masing-masing.

Mereka harus segera menyiapkan mie kering rumput laut tersebut karena tiga toko di Kota Serui kehabisan stok mie kering rumput laut yang diproduksi oleh kelompok Rawing Mairori sejak empat tahun terakhir.

Baca juga: Butuh 500 Guru MIPA, Bahasa Indonesia dan Inggris di Yapen Papua, Siapa Mau?

 

Mie kering rumput laut tersebut sudah dibuat beberapa hari sebelumnya. Mereka sengaja produksi mie kering dalam jumlah banyak karena cuaca sedang panas dan sangat baik untuk mengeringkan mie buatan mereka.

Rosmina Karobaba, ketua kelompok Rawing Mairori bercerita, ada 10 perempuan Sarawondori yang semuanya adalah ibu rumah tangga ikut memproduksi rumput laut menjadi makanan olahan.

"Ada mie kering rumput laut, stik rumput laut, cendol dan juga puding. Kadang kami juga buat bakso rumput laut jika ada pesanan. Puji Tuhan dalam waktu sebulan kita bisa dapatkan uang sekitar Rp 12 juta,” jelas Rosmina kepada Kompas.com, Minggu (19/8/2018).

Perempuan yang akrab dipanggil Ros tersebut bercerita jika Teluk Sarawondori banyak menghasilkan rumput laut jenis Ketomo.

Bahkan pada tahun 2007, panen raya rumput lau di Kampung Sarawondori sempat dihadiri oleh salah satu menteri.

Saat itu, menurut Ros rumput laut melimpah ruah tapi para nelayan tidak tahu harus dijual ke mana sehingga mereka hanya menjemur rumput laut yang mereka panen hingga kering lalu menumpuknya di gudang menunggu penjual datang.

“Tidak ada kepastian akan dijual kemana rumput laut kering tersebut. Hanya panen, jemur lalu ditumpuk saja. Stoknya sangat banyak sekali. Jadi walaupun banyak tetap saja tidak menghasilakan uang. Akhir bapak-bapak sudah jarang menanam rumput laut. Mereka kembali melaut mencari ikan,” kata Ros.

Baca juga: Cuaca Buruk, Petani Rumput Laut Rugi Jutaan Rupiah

Hal senada juga diceritakan oleh Isak Karobaba (42). Lelaki yang berbadan gempal tersebut awalnya tinggal di Nabire, namun saat mendengar bisnis rumput laut, Isak mengajak keluarganya kembali ke Sarawondori untuk bisnis rumput laut sekitar 10 tahun yang lalu.

Awalnya, sekali panen Isak bisa mendapatkan 20 ton rumput laut berukuran besar. Namun semakin lama produksi rumput laut mereka menurun karena Isak dan para petani rumput laut kesulitan untuk menjual rumput laut.

“Kalaupun ada yang beli kesini, waktu kedatangannya tidak jelas. Akhirnya rumput laut kami keringkan lalu ditumpuk di gudang. Saya juga mencari ikan dan teripang,” jelas Isak.

Menurutnya, satu kilo rumput laut basah jika dikeringkan bobotnya menjadi 6-7 ons. Sementara satu tali rumput laut bisa menghasilkan hingga 10 kilogram rumput laut basah.

“Tapi sampai saat ini saya masih punya beberapa tali rumput laut. Ukurannya bisa capai 3 atau 5 meter. Perairan ini sangat cocok untuk rumput laut,” katanya

Pada tahun 2007, Ros dan beberapa ibu rumah tangga di sekitar Sarawondori mendapat pelatihan pembuatan pengolahan makanan dengan bahan utama rumput laut dan mendapatkan uang bantuan sebesar Rp 750.000.

Ros lalu membuat kelompok namun tidak berjalan maksimal. Akhirnya, Ros memutuskan untuk membuat cendol dan puding dengan memanfaatkan rumput laut kering yang jumlahnya berlimpah di kampungnya seorang diri.

Baca juga: Baterai Masa Depan Diklaim Akan Terbuat dari Rumput Laut

Salah satu nelayan yang menyiapkan stok rumput laut adalah Isak Karobaba. Ros sempat berencana membuat permen, namun bahan-bahan yang digunakan tidak bisa didapatkan di Kota Serui.

“Karena kelompok, saya sempat minta anggota kelompok iuran Rp 25.000 untuk beli blender. Tapi tidak ada yang mau. Akhirnya saya gunakan uang sendiri untuk beli blender dan pinjam genset karena disini saat itu tidak ada listrik," cerita Ros. 

"Saya kerjakan sendiri semua. Waktu itu hanya buat puding dan cendol. Satu cetakan ada 15 potong, dan per potong saya jual Rp 1.000. Per hari saya bisa bawa puding tiga cetakan. Sementara ongkos naik kendaraan umum PP habis Rp 10.000. Masih ada untung walaupun sedikit,” jelasnya.

Saat itu, puding dan cendol buatan Ros sangat terkenal di Kota Serui hingga akhirnya pada tahun 2010, dia kembali diajak untuk mengikuti pengolahan rumput laut menjadi mie basah dan bakso.

Ros memilih berjualan karena pasca-bercerai dengan suaminya, Ros secara otomatis harus menjadi kepala rumah tangga untuk menghidupi anak semata wayangnya.

Selain itu dia juga mengajak ibu rumah tangga disekitarnya agar mereka mendapatkan uang tambahan untuk mencukupi kebutuhan sekolah anak-anak mereka.

Baca juga: Dokter Amalia dan Kisahnya Tentang Distrik Ninati, Boven Digoel, Papua

 

“Jika anggota kelompok, kebanyakan uangnya digunakan untuk sekolah anaknya, sedangkan kebutuhan sehari-hari bisa dari penghasilan para suami. Beda dengan saya yang harus mandiri seorang diri,” jelasnya.

Setelah kelompok pertama bentukannya gagal, Ros kemudian kembali membuat kelompok yang terdiri dari 10 ibu rumah tangga di Sarawondori setelah mendapatkan pelatihan baru pengolahan rumput laut.

Lalu, dari hasil pelatihan tersebut, setiap hari minggu, para ibu rumahtangga anggota kelompok menjual mie basah dan bakso rumput laut di tempat wisata Teluk Sarawondori. Namun mereka terkendala dengan cuaca.

Nona, salah satu anggota kelompok pernah bercerita jika suatu hari minggu hujan turun deras selama seharian, sehingga mie dan bakso mereka tidak laku sama sekali, padahal mereka sudah membuat makanan sebanyak 50 porsi.

Akhirnya Nona dan beberapa anggota kelompoknya menjajajakan mie dan bakso rumput laut mereka menggunakan perahu ke rumah-rumah untuk menutupi modal yang telah mereka keluarkan.

“Per porsi kami jual Rp 10.000. Hujan-hujan kami tawarkan ke rumah-rumah dengan menggunakan perahu. Ada yang langsung bayar ada juga yang hutang. Perjuangan sekali ,” kata Nona ambil menghela nafas berat. 

Baca juga: Kisah Febby, Anak Papua yang Bertemu dan Menerima KIP dari Jokowi

Setelah peristiwa tersebut, Ros memutar otak agar mereka tetap bisa berjualan mie rumput laut hingga akhirnya Ros memutuskan untuk membuat mie kering agar lebih awet.

Berminggu-minggu dia mencoba untuk membuat mie kering bersama anggota kelompoknya hingga akhirnya mereka berhasil menemukan komposisi yang pas untuk mie kering andalan mereka.

Selain itu mereka juga menciptakan snack rumput laut untuk oleh-oleh bagi pengunjung yang datang ke Kepualauan Yapen.

Gunakan teknologi untuk pemasaran

Masalah baru kemudian muncul karena Ros tidak tahu harus memasarkan mie buatan kelompoknya.

Dia kemudian menawarkan mie kering rumput laut ke toko-toko di kota Serui namun ditolak karena harganya lebih mahal dibandingkan mie instan.

Ros tidak habis akal, dia kemudian memfoto produk dan menjualnya secara online di media sosial miliknya.

“Saya belajar main Facebook. Saya foto dan unggah di Facebook. Tapi kendalanya tidak ada sinyal di kampung kami. Akhirnya setiap hari saya ke kota untuk upload foto dan memastikan apakah ada yang pesan mie rumput laut baik lewat inbox atau SMS," kata Ros. 

Baca juga: Asa Dusun Seriwe Menuju Wilayah yang Mandiri Energi dan Ekonomi

Pesan itu baru dibaca kalau ada sinyal. Dan ternyata ada yang pesan,. Dari situ Ros dan teman-temannya semakin semangat untuk membuat olahan rumput laut.

"Bukan hanya mie kering tapi juga stik rumput laut yang lebih tahan lama dibandingkan cendol dan puding,” jelasnya. Bahkan Ros permah melayani pembeli hingga Jayapura dan Jakarta.

Setelah mie kering rumput laut semakin dikenal, akhirnya beberapa toko menerima mie kering dan stik rumput laut buatan ibu-ibu Kampung Sarawondori karena peminatnya cukup banyak sebagai oleh-oleh khas dari Kepulauan Yapen.

Ros berhasil meyakinkan pemilik toko untuk menjual produksi olah mereka karena mie dan stik asal Sarawondori banyak yang mencari.

Saat ini, Ros dan kelompok Rawing Miorari setiap pekan memproduksi stik rumput laut sebanyak 3 kali dan sekali produksi menghasilkan paling sedikit 130 kemasan.

Sementara untuk mie kering rumput laut menyesuaikan dengan kondisi cuaca. Jika cuaca hujan maka mereka menghentikan produksi mie keringnya.

Baca juga: Tiap Pekan, Dua Ton Olahan Rumput Laut Dikirim ke Malaysia

“Kami ada oven untuk mengeringkan mie tapi hasilnya tidak sebagus mengeringkan dengan panas matahari. Kami menjaga kualitas. Tapi sebanyak apapun produksi mie saat ini selalu ada yang beli. Bahkan para pembeli langsung datang ke kampung kami,” jelas Ros.

Untuk stik rumput laut dijual Rp 12.000 rupiah per kemasan sedangkan mie rumput laut dijual Rp 20.000 untuk ukuran 400 gram. Ros juga memberikan pelatihan membuat makanan olahan dari rumput laut ke ibu-ibu di kampung lain yang beradi di Kabupaten Kepulauan Yapen.

Sarjana dari rumput laut

Isak Karubaba (42), nelayan di Kampung Sarawandori mengaku secara perekonomian sangat terbantu dengan kegiatan pembuatan olahan makanan rumput laut yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga di kampungnya.

Isak Karobaba sendiri juga ikut menanam rumput laut jenis Ketomo yang dijadikan bahan utama stik dan mie kering rumput laut. Isak mengaku awalnya dia pernah panen rumput laut hingga 20 ton setiap panen namun sekarang turun sampai 5 ton sekali panen.

Satu kilo rumput laut basah dihargai Rp 3.000 sedangkan kering dihargai Rp 7.000. Sementara ibu-ibu kelompok berani membeli rumput laut kering di atas harga itu.

"Istri saya, Novalina Wahana juga ikut tergabung dalam kelompok tersebut dan sangat terasa sekali hasilnya. Mereka buatnya juga di rumah sini. Tidak jauh-jauh keluar rumah jadi bisa mengawasi anak-anak,” jelas bapak enam orang anak tersebut.

Isak sempat berhenti menanam rumput laut karena tidak ada pembelinya. Namun sejak lima tahun terakhir dia tetap menanam rumput laut walaupun tidak sebanyak dulu.

Baca juga: Kampung Bandeng, Kawasan Mengolah Sajian Bandeng ala Semarang...

Saat ini, dua anak Isak kuliah di luar kota, sementara adik-adiknya masih duduk di bangku sekolah SD, SMP dan SMA.

“Saya mau anak-anak saya menjadi anak pintar. Jadi sarjana semuanya. Untuk biaya kuliah dan sekolah dari pekerjaan saya sebagai nelayan dan ibunya yang ikut kelompok membuat mie dan stik. Kadang jika tidak melaut, saya juga membantu mereka menyiapkan bahan utama rumput laut. Saya tidak masalah walaupun laki-laki tapi membantu para ibu,” jelas Isak sambil tertawa.

Sementara itu Rosmina Karobaba (41), ketua kelompok Rawing Mairori mengaku jika dirinya sempat kuliah pada tahun 2010 dari hasilnya berjualan makanan olahan rumput laut.

Saat itu dia berpikir, sebagai single parent ingin menjadi pegawai negeri sehingga bisa memenuhi kebutuhan perekonomian keluarganya.

Ros lulus jadi sarjana pendidikan agama Kristen tahun 2014 namun dia memillih untuk menggeluti bisnis makanan tersebut karena hasilnya lumayan.

"Ilmu saya sebagai sarjana bisa saya tularkan ke anak-anak sekitar sini tanpa harus menjadi guru. Saya sudah menabung agar anak saya satu-satunya yang saat ini masih SMA bisa melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Saya ingin mematahkan pikiran bahwa orang sukses di Papua harus jadi pegawai. Tuhan penuh kasih telah memberikan berkah kepada kami dari rumput laut yang berasal dari kampung kami,” pungkasnya. 

Kompas TV Tim Liputan Kompas TV mencari tahu bagaimana budidaya yang dilakukan dan juga proses pengolahan rumput laut menjadi dodol.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com