Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Gempa Lombok Tak Ditetapkan sebagai Bencana Nasional?

Kompas.com - 21/08/2018, 17:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Soal tanggung jawab, liabilitas dan akuntabilitas pemerintah menjadi pertimbangan penting. Keputusan Obama kemudian dikenal sebagai sesuatu yang baru oleh banyak ahli manajemen bencana dan dijadikan model alternatif deklarasi status bencana nasional di berbagai negara.

Plus-minus penetapan status bencana nasional

Lalu, apa yang menyebabkan pemerintah di berbagai belahan dunia enggan menetapkan sebuah peristiwa bencana sebagai bencana nasional?

Dalam konteks bencana asap Kalimantan dan Sumatera pada 2015, pemerintah ragu-ragu dalam menetapkan status bencana nasional karena seolah-olah penetapan bencana nasional menghilangkan tanggung jawab perusahaan pembakar hutan.

Pemerintah di berbagai negara umumnya enggan mendeklarasikan sebuah bencana dengan status bencana nasional karena salah kaprah soal kemungkinan disalahpahami sebagai tanda lemahnya kemampuan pemerintah, baik daerah maupun pusat, dalam menangani bencana. Seolah-olah deklarasi bencana nasional adalah sebuah undangan otomatis bantuan internasional.

Untuk menghindari debat kusir yang tidak produktif, saatnya kita mengajukan pertanyaan diagnostik terkait perlu dan tidaknya deklarasi bencana nasional oleh pemerintah pusat.

Pertama, apakah ada hambatan mobilisasi sumber daya dan aset nasional? Kedua, apakah pemerintah daerah mampu mengoordinasi respons darurat saat ini? Tentu jawabannya tergantung siapa yang Anda tanya.

Tantangannya bukan hanya pada soal keuangan dan sumber daya, melainkan juga bagaimana sistem administrasi rehabilitasi dan rekonstruksi bisa menjawab kebutuhan membangun yang lebih baik dan lebih tahan gempa di masa depan. Sebab, hampir semua pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki agenda membangun rumah yang lebih tahan gempa dalam 10 tahun terakhir.

Peran yang diambil pemerintah pusat saat ini adalah memantau secara dekat dan mendukung pemerintah daerah NTB melalui berbagai sumber daya, baik dana maupun logistik dan sumber daya manusia. Pendekatan ini walau mulia, tetapi tidak selalu efektif.

Secara status quo, pemerintah daerah telah gagal mengimplementasikan mitigasi kegempaan yang berujung pada kehancuran fisik yang parah.

Dengan pendekatan status quo saat ini, pertanyaan yang lebih penting dijawab adalah apa jaminannya rekonstruksi dalam genggaman pemda NTB bisa menjawab kebutuhan "membangun kembali dengan lebih baik" yang tahan gempa dan tahan banting terhadap ancaman alam lainnya di masa yang akan datang?

Jonatan A Lassa
Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin University

Mujiburrahman Thontowi
PhD Student, Charles Darwin University

Catatan Redaksi:
Artikel ini ditayangkan di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Isi artikel dikutip dari artikel berjudul "Mengapa gempa di Lombok tidak ditetapkan sebagai bencana nasional?". Isi di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com