Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Gempa Lombok Tak Ditetapkan sebagai Bencana Nasional?

Kompas.com - 21/08/2018, 17:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Jonatan A Lassa dan Mujiburrahman Thontowi

BADAN Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat jumlah korban meninggal akibat gempa bumi di Lombok sampai 13 Agustus mencapai setidaknya 436 orang.

Mayoritas korban mengembuskan napas terakhir setelah tertimpa bangunan yang roboh akibat gempa bumi bermagnitudo 7 pada 5 Agustus lalu. Jumlah pengungsi setidaknya mencapai 352.000 orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian.

Selain kerugian langsung seperti kerusakan fisik yang meliputi 67.000 unit rumah, 600-an sekolah, berbagai fasilitas umum, dan jalan raya, belum terhitung kerugian tidak langsung akibat rusaknya sendi-sendi perekonomian, termasuk pariwisata NTB, dalam lima tahun ke depan.

Status bencana Lombok

Praktisi penanggulangan bencana di Indonesia terbelah dua dalam menyikapi gempa bumi di Lombok. Pihak pertama mengatakan perlu penetapan status bencana Lombok 2018 sebagai bencana nasional. Adapun pihak lain, termasuk pemerintah, mengatakan bahwa tidak perlu menetapkannya sebagai bencana nasional.

Juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, "(Ditetapkan sebagai) bencana nasional itu jika korban banyak, daerahnya luas dan aparat pemerintah daerah juga lumpuh total. Pemerintah daerah juga menjadi korban dan lumpuh total sehingga fungsi-fungsi kepemerintahan tidak berjalan."

Sutopo kemudian mengoreksi bahwa wewenang deklarasi dan penetapan bencana nasional ada di tangan presiden.

Yang menarik adalah syarat terkait masih berfungsinya pemerintah daerah merupakan syarat yang tidak tertulis dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana. Syarat itu menjadi sebuah wacana baru di Tanah Air.

Namun, gagasan ini merupakan hal lumrah dalam bahan ajar di The Harvard Kennedy School Program on Crisis Leadership (PCL), yang menjadi dasar pemikiran deklarasi bencana dalam konteks Amerika Serikat.

Pertanyaan yang penting adalah apakah status bencana Lombok yang paling memberi dampak bagi operasi penanggulangan kedaruratan hingga tiga bulan ke depan?

Dan, bagaimana kebutuhan rekonstruksi rumah, sekolah, dan gedung-gedung serta bisnis dan ekonomi secara makro di NTB dalam tiga tahun ke depan?

Tantangan penanganan bencana di Lombok bukan hanya soal kebutuhan respons darurat dan bagaimana para penyintas bisa memiliki hunian layak sementara sebelum memasuki musim hujan 2018 yang diperkirakan mulai November.

Total kebutuhan rekonstruksi yang masih diestimasi sangat mungkin lebih besar dari estimasi kerugian BNPB yang berkisar Rp 5,04 triliun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB 2018 yang mencapai Rp 5,2 triliun.

Aturan penetapan status bencana

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com