KOMPAS.com - Budayawan Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta Presiden Jokowi membuat aturan baru tentang protokoler upacara bendera dalam memperingati proklamasi kemerdekaan RI yang digelar setiap 17 Agustus.
Aturan protokoler yang diubah adalah untuk di daerah dengan mengedepankan kearifan lokal.
Dedi mengatakan, saat ini terjadi perbedaan antara pengelolan tata kelola upacara di Istana Negara (pusat) dengan daerah.
Di Istana, kata Dedi, Presiden Jokowi bisa berinisiatif sendiri mengembangkan aspek-aspek tradisionalisme masuk ke tata upacara, seperti seragam adat kepala negara dan pakaian adat peserta upacara. Lalu inspektur upacara dan pasukan dibuatkan aksesoris tentara kerajaan, masuknya kereta kencana untuk membawa bendera ke areal istana.
"Pikiran itu dari dulu ingin saya kembangkan, tapi daerah terhambat oleh tata protokoler istana yang diatur sekretariat negara," kata mantan bupati Purwakarta dua periode kepada Kompas.com, Senin (20/8/2018).
"Untuk itu, untuk peringatan proklamasi ke depan, segera menteri sekretaris negara membuat aturan baru tentang protokler acara kenegaraan di kota dan kabupaten serta provinsi, sehingga daerah-daerah bisa mengembangkan tata kelola protokoler upacara bendera agustusan dengan membangun kearifan-kearifan budaya," lanjut Dedi.
Dedi menjelaskan, saat ini, dalam acara kenegaraan, misalnya, tata upacara bendera HUT RI, antara di pemerintah pusat dan daerah menjadi berbeda. Pemerintah pusat sudah mengembangkan aspek keindonesiaan dalam tata kelola upacara yang mengembangkan pluralisme dan kebinekaan.
"Namun daerah tidak bisa karena terikat protokoler yang diatur menteri sekretaris negara. Jadi harus disamakan antara pusat dan daerah," katanya.
Baca juga: Mengapa Jokowi Pilih Pakaian Adat Aceh saat Upacara di Istana?
Dedi mencontohkan, upacara agustusan, kepala daerah, anggota DPRD dan seluruh pejabat eselon di kota dan kabupaten harus berpakaian resmi seperti jas dan berdasi. Sedangkan di jakarta, Presiden Jokowi sudah bisa mengenakan baju tradisional.
"Sedangkan baju tradisional yang dipakai pejabat hanya digunakan pada hari jadi. Ini harus segera diubah," tandasnya.
Warisan Order Baru
Dia mengatakan, seragam yang dikembangkan dalam tata protokoler pengelolaan upacara dan kegiatan kenegaraan itu warisan order baru yang dinilai sangat kaku dan semi-militer. Termasuk di dalamnya warisan kolonial belanda.
"Baju yang dipakai bupati, wali kota dan gubernur, yakni baju putih, itu warisan belanda. Segera diubah, baju kebanggaan pemimpin daerah itu adalah baju adat," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.
Bahkan, kata Dedi, tidak ada salahnya nanti pelantikan kepala daerah itu menggunakan seragam adatnya masing-masing. Misalnya, kepala daeerah di Papua, ketika dilantik gubernur Papua, memakai pakaian adat Papua. Begitu juga Aceh.
"Kenapa? Karena pemimpin itu punya dua tugas. Ya pemimpin kenegaraan, dia juga pemimpin kebudayaan," jelas calon anggota DPR RI itu.