Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Rosani, Penderita Kanker yang Jualan Pentol untuk Biaya Kuliah

Kompas.com - 23/07/2018, 11:04 WIB
Sukoco,
Reni Susanti

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Jarum jam menunjukkan pukul 19:30 Wita, ketika motor butut yang dikendarai Rosani (18) memasuki rumah kontrakan sederhananya di pinggiran kawasan Juata Korpri, sekitar 30 menit dari pusat Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Wajahnya yang letih kembali sumringah ketika Cipa, sang ibu, berjalan dengan tertatih sambil memegangi pinggangnya menyambut kepulangan Rosani.

“Ibu habis operasi tulang belakang, sekarang belum sembuh benar,” ujar Rosani, Minggu (23/07/2018).

Setelah membersihkan diri, Rosani ditemani ibu serta kakak perempuannya Ratih Purwasih menemui Kompas.com yang berkunjung ke rumahnya.

Baca juga: Kisah Difabel Pembawa Obor Asian Games dan Sepatu untuk Sang Adik

Rosani mengaku sudah 6 bulan terakhir tidak lagi menjalani kemoterapi. Padahal, setiap 3 bulan sekali seharusnya dia menjalani kemoterapi untuk mengobati kanker tulang dan kanker kelenjar getah bening yang dideritanya.

Sebelumnya, Rosani juga menderita tumor ganas yang menggerogoti ovariumnya. Namun saat ini tumor ganas tersebut telah diangkat oleh dokter.

Sesuai rencana dokter, Rosani seharusnya masih menjalani 6 kali kemoterapi dari 15 kali jadwal kemoterapi.

Berhenti Kemo

Absennya remaja yang bercita-cita jadi polwan tersebut dari pengobatan kemoterapi karena biaya. Keluarganya sudah tak mampu lagi membiayai keberangkatannya ke Jakarta untuk melakukan kemo.

Meski pengobatannya di Jakarta ditanggung BPJS, namun biaya perjalanan serta biaya makan dan penginapan harus ditanggung sendiri.

Sejumlah donator yang dulu membantu pengobatan Rosani saat ini sudah menghentikan bantuannya.

“Kalau sekali jalan itu bisa Rp 15 juta habisnya, karena bisa 3 minggu sekali pengobatan,” ujar Ratih Purwasih, kakak Rosani.

Baca juga: Obat Kanker Tak Lagi Dijamin, Keluarga Pasien Somasi Jokowi dan Dirut BPJS

Ratih menambahkan, untuk biaya hidup sehari-hari saja, mereka mulai kesulitan. Gaji suaminya sebagai tenaga keamanan di salah satu kantor swasta di Tarakan hanya cukup untuk makan sekeluarga dan kebutuhan kedua anak mereka.

Untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup, Ratih berjualan cilok keliling. Bahkan untuk menghemat pengeluaran, mereka mencari kontrakan lebih murah di pinggir kota.

Beban hidup Ratih bertambah dengan adanya bayi berusia satu tahun. Bayi tersebut diadopsi oleh Rosani.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com