Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Kepsek Warsiah, Bangun Jembatan agar Guru dan Murid Tak Bolos Sekolah

Kompas.com - 22/07/2018, 11:59 WIB
Sukoco,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Minimnya infrastruktur membuat guru dan siswa SD 013 Desa Buluh Perindu, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sering terlambat berangkat sekolah.

Kepala Sekolah SD 013 Desa Buluh Perindu Warsiah mengatakan, keberadaan sekolah yang terpisahkan oleh sungai selebar 100 meter dari pemukiman penduduk menjadi kendala bagi siswa dan guru untuk bisa datang ke sekolah pagi hari.

Perahu merupakan satu satunya alat transportasi yang menghubungkan Desa Buluh Perindu dengan dunia luar. “Satu satunya jalan menuju sekolah lewat sungai. Perahu cuma satu, jadi kalau hujan banyak guru dan siswa memilih tidak masuk sekolah,” ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (22/07/2018).

Sulitnya siswa dan guru menuju sekolah membuat kegiatan belajar mengajar di SD 013 berjalan tidak sesuai seperti sekolah lain. Jam pelajaran yang diberikan guru dalam sehari bisa hanya satu jam belajar, bahkan sebagian kelas tidak ada pelajaran.

Baca juga: SD Ini Berinovasi Bikin Buku Sendiri, Muridnya Jadi Pintar Membaca

“Pertama kali masuk ke sini saya kaget, siswa masuk jam 08.30 Wita pulang jam 09.30 Wita, dan hal seperti itu berjalan cukup lama,” imbuhnya.

Akibat kegiatan belajar mengajar di SD 013 yang tidak jelas membuat sebagian besar orang tua di Desa Bulu Perindu memilih menyekolahkan anak mereka ke sekolah dasar yang berada di desa lain yang lebih jauh. Akibatnya, SD 013 hanya memiliki siswa sebanyak 50 siswa saja.

Untuk mengubah situasi kegiatan belajar mengajar di SD 013 yang kacau balau tersebut, sebagai kepala sekolah yang baru menjabat, Warsiyah hanya terpikir untuk membuat jembatan yang bisa menghubungkan Desa Buluh Perindu dengan sekolah.

Meski tidak tahu bagaimana cara membuat jembatan, namun Warsiah getol melakukan pendekatan kepada warga, sesepuh desa, ketua RT, hingga kepala desa agar di desa mereka ada jembatan yang bisa dilalui anak-anak untuk menuju ke sekolah.

Warsiah mengaku butuh waktu 3 bulan untuk meyakinkan warga agar mereka percaya bahwa mereka bisa membuat jembatan jika bergotong royong.

Baca juga: Pelajar di Maros Bertaruh Nyawa Menyeberang Sungai Demi Menuntut Ilmu

 

Di Sungai Kayan, banyak terdapat kayu yang hanyut dibawa arus dari hulu sungai yang bisa dijadikan bahan jembatan.

Meski tidak ada insinyur yang merancang jembatan, warga akhirnya setuju untuk membuat jembatan secara swadaya.

“Mereka setuju bahwa pendidikan anak mereka itu sangat penting. Satu-satunya cara agar anak mereka bisa sekolah ya dengan membangun jembatan, bagaimanapun caranya,” ucap Warsiah.

Meski bahan baku kayu sangat mudah didapatkan, namun Warsiah mengaku masih membutuhkan anggaran untuk membeli keperluan material lainnya seperti kawat baja, besi paku dan kebutuhan konsumsi saat pembanguna jembatan dilaksanakan.

Kembali Warsiah melakukan pendekatan kepada warga dengan cara mulai melakukan urunan dari sekolah sehingga warga ikut serta melakukan urunan.

“Akhirnya terkumpul uang Rp 2,5 juta,” katanya.

Baca juga: Jembatan Ambruk, Pelajar Sukabumi Basah-basahan Menyeberang Sungai

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com