Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sukijan, Sang Penjaga Mata Air di Bukit Menoreh

Kompas.com - 17/07/2018, 13:26 WIB
Dani Julius Zebua,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Bahkan mata air Pamdes bisa dipakai oleh 3 dusun, yakni selain Clapar 3, Gondangan, dan sebagian Desa Karangasem di Desa Sidomulyo di Kecamatan Pengasih.

Mata air

Kecamatan Kokap mayoritas berada di dataran tinggi di pegunungan Menoreh. Pegunungan ini memiliki kemiringan ekstrem. Dusun Clapar 3 salah satunya. Karena kontur itu maka kekeringan mudah melanda kawasan di bagian paling atas dari bukit.

Kesulitan air akibat kemarau melanda desa di 2006. Sungai Salam sampai kering. Warga menemukan mata air yang muncul di antara batu sungai di batas dusun Clapar 1 dan Clapar 3 ini. Batas desa ini berupa kebun pohon kayu yang sepi, terpencil, dan serasa hutan. Debitnya besar, menurut Sukijan.

Baca juga: 2.000 Tangki Air Disiapkan Untuk Antisipasi Kekeringan di Jawa Tengah

Sebenarnya saat itu banyak mata air sepanjang sungai. Mata air diperbatasan Clapar 1 dan Clapar 3 itulah yang paling besar dan berada di posisi tertinggi dari dusun. Atas inisiatif bersama di 2014, mereka membangun tanggul, penyaring, dan penampungan untuk mengelola mata air ini.

Warga mengalirkan air ke dusun dengan cara gravitasi. Permintaannya cukup tinggi. Pamdes sampai melayani 72 kepala keluarga Clapar 3. Warga membayar sekitar Rp 10.000-13.000 per bulan untuk pemakaian 3m2.

Itulah mengapa Sukijan terus berupaya mempertahankan mata air ini. Ia masih sering inspeksi sendiri ke mata air ini. Ia membersihkan air di bak dari daun kering. Kadang, kalau ada kerusakan, ia sendiri yang memperbaiki.

Termasuk kebocoran bak, membuang udara dalam pipa, hingga membersihkan pusat masuk air ke pipa dari daun dan ranting di tengah perkebunan warga yang seperti hutan itu.

"Semua masih swadaya sendiri. Ini murni sosial. Belum kuat kalau menggunakan pendanaan dari iuran Pamdes," kata Sukijan.

Baca juga: Kekeringan, 150 Hektar Sawah di Aceh Besar Terancam Gagal Panen

Lokasinya sulit, ekstrem, dan terkesan jauh. Sukijan harus selalu membawa parang sepanjang lengan saat menuju ke sana. Ia harus melewati beberapa petak lahan warga yang ditumbuhi pohon kayu usia muda.

Banyak sekali semak, pohon palawija tak terurus, dan batu-batu padas. Jalanan naik turun mengikuti kemiringan bukit dan sepanjang pinggir jurang. Kadang ada saja jalan di pinggir jurang yang nyaris tanpa pijakan. Jauh di bawah adalah batu kali yang besar-besar.

Perjalanan dari rumahnya menuju mata air itu ditempuh lebih setengah jam dengan jalan kaki. "Ini juga jalan paling dekat," katanya.

Ayah 2 anak ini sudah terjun di Pamdes sejak 2008. Ia sering terlibat pembangunan pipa dan penyaluran air minum bagi warga di beberapa paguyuban pendamping di DIY.

Sukijan sendiri merupakan rekanan kerja PU dan punya kegiatan perkayuan. Pengalaman inilah yang membuat Sukijan akhirnya fokus memperhatikan pengairan di dusunnya.

Baca juga: Kekeringan di Ponorogo, Ribuan Jiwa Kesulitan Air Bersih

Beberapa warga Clapar 3 merasa air masih lancar selama kemarau belakangan ini. Hanya saja, air lebih keruh. Namun mereka bersyukur, warga di lereng tidak lagi sulit air.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com