Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kegigihan Ipda Kukuh Kembalikan Kejayaan Batik Indigo Borobudur

Kompas.com - 01/07/2018, 16:17 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com - Menjadi anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tidak membatasi kreativitas seorang Ipda Kukuh Tirto Satrio Leksono untuk berkarya di bidang seni dan ekonomi kreatif. 

Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres Magelang, Jawa Tengah, itu mampu mengembangkan seni batik dengan warna alami dari daun indigo yang nyaris punah di kawasan Candi Borobudur.

Tidak ada darah seni yang mengalir pada diri pria berusia 35 tahun itu. Semua berawal dari keprihatinan bahwa seni batik indigo sudah sulit bahkan tidak dapat ditemui di Candi Borobudur.

"Ada rasa enggak rela ketika tahu kalau batik indigo sudah punah, padahal dahulu mudah ditemui. Indigo dengan Candi Borobudur memiliki ikatan sejarah," ungkap Kukuh, mengawali berbincangan dengan Kompas.com di kantornya, di Polres Magelang, Minggu (1/7/2018).

Baca juga: Batik Indigo, Kekayaan Batik Klasik Indonesia

Informasi tentang batik warna daun indigo diketahui ketika ia mulai menggeluti dunia seni di Candi Borobudur. Barawal dari ketika bergabung dengan komunitas mobil, membangun homestay di Borobudur, lalu ikut komunitas seni rupa, teater, sampai sinematografi.

"Mulai intens di Borobudur tahun 2011-2012, sampai pada tahun 2015, saya mulai suka batik ketika mengantar tamu homestay keliling Borobudur, dari situ saya memperoleh pengetahuan bahwa warna daun indigo sudah punah," ungkap pria asal Kabupaten Kebumen itu.

Kukuh kemudian mencari tahu dan bereksperimen dengan warna daun indigo yang diambil dari seorang petani di Kabupaten Temanggung. Daun indigo berasal dari pohon indigo yang mirip dengan pohon kelor namun daunnya lebih kecil.

Prosesnya cukup lama untuk menjadi pewarna batik, mulai dari fermentasi, direndam di larutan air biasa, dicampur dengan air kapur, sampai dicampur dengan air gula atau tape.

"Saya 3 kali gagal bereksperimen, sampai akhirnya menghasilkan warna indigo yang khas yakni biru cerah, warna ini dianggap ningrat sebelum ada warna sintetis. Warna akan lebih cerah kalau pohonnya ditanam di aliran sungai kapur atau marmer," papar dia.

Kukuh mulai memberdayakan orang-orang disekitarnya untuk memproduksi batik indigo. Kreativitasnya membuahkan hasil setelah banyak kalangan yang menyukai batik karyanya.

Ia juga memprodukasi batik dengan pewarna alam lain seperti mahoni, jambal, daun mangga, bunga sumbo, yang banyak tumbuh di kawasan taman wisata Candi Borobudur.

Kukuh mengungkapkan, dirinya memproduksi batik dua jenis, yakni batik Tingal Laras yang diprosuksi dengan edisi terbatas. Batik ini lebih kepada media untuk menuangkan ide atau ekspresinya, biasanya dipakai untuk fine art atau dekorasi.

Baca juga: Mampir ke Kulon Progo, Wajib Borong Batik Khasnya

Selain itu, pihaknya juga membuat batik Samaratungga yang biasa dipakai untuk cinderamata tamu, karena motifnya relief Borobudur, ada unsur pohon kalpataru, pohon yang hampir ada di setiap relief candi di Indonesia. 

"Pohon Kalpataru adalah simbol ikatan emosional antar masyarakat di Jawa. Pohon ini menyimpan debit air banyak. Secara filosofi, mampu beri kehidupan lingkungan sekitar. Urip kudu urup," ungkap dia.

Ipda Kukuh Tirto Satrio Leksono (kanan)  bersama Kapolres Magelang AKBP Hari Purnomo. Dok Pribadi Ipda Kukuh Ipda Kukuh Tirto Satrio Leksono (kanan) bersama Kapolres Magelang AKBP Hari Purnomo.

Bersama sang istri, Lidia Pustpita Kusuma dan tim, Kukuh ingin terus mengembangkan batik ini, sehingga menjadi ciri khas Candi Borobudur.

Kukuh merasa memiliki manfaat dari kegiatannya membatik, selain tambahan pendapatan juga sebagai sarana menuangkan inspirasi atau menuangkan ide yang tidak bisa diperoleh ketika bertugas menjadi anggota polisi.

Sampai saat ini, batiknya sudah diproduksi sampai ratusan jenis. Dia menargetkan bisa memproduksi 10 motif batik baru per bulan. Pangsa pasar tidak hanya turis-turis asing, tapi juga masyarakat pecinta batik Indonesia.

Harganya berkisar Rp 200.000-Rp 2,5 juta per batik. Keahlian menciptakan dan mengembangkan bisnis batik membuatnya kerap diundang untuk mengisi berbagai pelatihan.

Namun, Kukuh tidak pernah mengabaikan tugas utamanya menjadi abdi negara. Kegiatannya membatik dilakukannya usai berdinas.

Baca juga: Berburu Batik di Pasar Tiban Anne Avantie

"Saat ini, saya sedang memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di pegunungan Menoreh, Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, untuk membuat batik yang punya nilai jual. Setiap Jumat sore, saya mendampingi ibu-ibu," terang dia.

Dapat penghargaan

Kecintaannya pada seni batik mengantarkan Kukuh memperoleh penghargaan dari institusinya.

Antara lain penghargaan sebagai anggota polisi berprestasi dalam pengembangan ekonomi kreatif dari Kapolres Magelang AKBP Hari Purnomo, 2018. Lalu, memperoleh Bhayangkara Award Kapolda Jateng Irjen Polisi Condro Kirono tahun 2018, dan penghargaan lainnya.

"Institusi saya terus menyemangati anggotanya untuk berinovasi, melakukan kegiatan yang bermanfaat sepanjang tidak mengganggu pekerjaan, karena Polri butuh anggota yang punya niat baik mendekatkan Polri dan masyarakat di banyak bidang," tutur Kukuh.

Kompas TV Permintaan sarung batik Kudus naik sejak sebulan sebelum Ramadan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com