Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Staf senior Komnas HAM yang saat ini bertugas sebagai Plt Kepala Bagian Penyuluhan dan Kasubag Teknologi Informasi Komnas HAM. Pada 2006-2015, bertugas sebagai pemantau/penyelidik Komnas HAM. Hobi menulis, membaca, dan camping.

Merapinomic, Saat Merapi Menjadi Penyangga Ekonomi Warga

Kompas.com - 26/06/2018, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK 11 Mei 2018, Gunung Merapi ditetapkan statusnya ke level II, yaitu Waspada, oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Badan Geologi Kementerian ESDM.

Hal ini mengingat adanya kenaikan aktivitas Merapi yang ditandai dengan erupsi freatik yang terjadi pada 11 Mei, 21 Mei, dan 1 Juni 2018, yang menyebabkan asap yang membubung tinggi ke angkasa mencapai sekitar 6000 meter. Abu Merapi mengguyur daerah-daerah nun jauh ke arah barat karena terbawa oleh angin.

Dengan status tersebut, penduduk yang berada di radius lebih dari 3 kilometer dari puncak Merapi tidak diinstruksikan untuk mengungsi, namun diminta untuk dalam kondisi selalu waspada oleh berbagai kemungkinan. Jika aktivitas meningkat, maka level bisa dinaikkan ke Siaga dan Awas.

Pada level Waspada, belum perlu ada yang dikhawatirkan dari aktivitas Merapi. Masyarakat maupun pengunjung wisata bisa tetap berekreasi dan berkunjung di kawasan-kawasan wisata yang ada di sekitar Merapi. Kawasan wisata tersebut diantaranya Kaliurang, Kaliadem, Selo, Ndeles, dan lain-lain.

Baca juga: Melihat Panorama Gunung Merbabu dan Merapi dari Jarakan View

Namun ternyata, sepanjang pengamatan saat berada di Kaliurang dan sekitarnya pada pekan Lebaran yang lalu, terjadi penurunan kunjungan wisatawan. Arus kedatangan wisatawan baru terjadi pada lebaran hari kedua, itupun jauh menurun dibandingkan masa sebelumnya.

Ketika saya bertanya pada beberapa pengunjung, mereka menyatakan masih khawatir dengan kondisi Merapi oleh karena mendengar dan melihat berita/informasi yang beredar di media sosial.

Pada hari-hari sebelumnya, wisatawan sudah berkunjung namun kebanyakan hanya untuk menikmati kuliner di warung-warung makan, setelah itu akan turun lagi ke kota Yogyakarta yang jaraknya 25 kilometer dari Kaliurang.

Selain itu, beberapa wisatawan mulai menikmati tour jeep Merapi yang bertarif sekitar Rp 400.000 sekali jalan dengan perjalanan selama sekitar 3 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pusat-pusat kuliner menjadi salah satu magnet dan pemicu gairah wisata.

Di Rumah Makan Pak Parto, misalnya, setiap pengunjung menghabiskan waktu sekitar 1 jam, dihitung sejak datang, pesan makanan, menikmati makanan, dan kepergian. Dengan begitu, tidak banyak waktu yang dihabiskan kecuali hanya untuk makan.

Berbeda dengan wisata rekreasi, yang wisatawan akan menghabiskan waktu rata-rata 3-6 jam, untuk menikmati alam sekitar, jalan-jalan, bercengkrama dan menikmati makanan. Begitu juga dengan penginapan atau akomodasi, sejak aktivitas Merapi meningkat, banyak yang membatalkan pesanan hotel di Kaliurang dan sekitarnya.

Jelas, kenaikan aktivitas Merapi telah - untuk sementara - menurunkan kunjungan wisatawan di kawasan wisata sekitar Merapi, pun di kota Yogyakarta secara umum. Kunjungan wisatawan di Kaliurang pada pekan Lebaran hanya mencapai 36.776 orang (Dinas Pariwisata Sleman).

Diperkirakan, terjadi penurunan jumlah wisatawan di Kaliurang sebesar 50 persen dibanding lebaran 2017 (Harian Jogja, 18/6/18). Hal ini mengonfirmasi betapa eratnya Merapi dengan geliat ekonomi lokal dan kawasan sekitarnya.

Merapi telah membuktikan manfaat dan kontribusinya bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Inilah Merapinomic yang harus disadari oleh kita semua. Merapi telah menjadi tumpuan, harapan, dan penyangga sosial ekonomi masyarakat.

Pascaerupsi dahsyat 2010, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sangat terpukul, karena mandegnya roda ekonomi, dan hancurnya sarana dan prasarana kehidupan masyarakat.
Namun dalam hitungan bulan, geliat ekonomi masyarakat segera bangkit.

Dalam penelitian yang saya lakukan pada Desember 2011-Januari 2012, masyarakat di kawasan rawan bencana di antaranya di Srunen dan Kalitengah, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, bisa memulihkan kehidupannya secara cepat dari beternak sapi perah.

Begitu juga dengan masyarakat Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, bisa dengan cepat pulih dengan mencari tanah untuk relokasi permukiman secara mandiri. Termasuk masyarakat Kaliurang yang membuka kembali usaha warung makan sebagai jalan pulihnya wisata secara umum.

Mereka – para aktor ekonomi lokal – membuktikan mempunyai daya tahan yang tinggi untuk pulih dan berdaya, mengikuti ritme Merapi yang menjadi bagian dari kehidupannya.

Selain ekonomi berbasis wisata, peternakan dan pertanian, pascaerupsi, Merapi juga menggelontorkan ratusan juta meter kubik pasir yang menjadi berkah bagi masyarakat dan pengusaha tambang.

Arus perputaran uang dari tambang pasir yang berada di Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali, diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Saat ini, pasir Merapi yang berada sungai-sungai utama, seperti Sungai Boyong, Krasak, Woro, dan Gendol, telah menipis bahkan habis.

Baca juga: BPPTKG Tegaskan Status Merapi Masih Waspada

 

Akibatnya, penambangan dilakukan di lahan-lahan milik masyarakat dan tebing-tebing sungai secara merusak. Kerusakan terjadi di banyak tempat dan belasan nyawa telah jatuh oleh karena tertimpa longsoran tebing yang ditambangnya sendiri.

Praktik yang serakah dan merusak ini harus dihentikan karena tidak sejalan dengan ritme kehidupan Merapi.

Merapi, telah memberikan banyak manfaat dan berkah secara sosial dan ekonomi – bahkan psikologis - bagi masyarakat secara umum. Sebagai anugerah Tuhan YME, hal ini wajib kita syukuri dengan cara menjaga alam sekitar Merapi dari tindakan ekspolitasi, perusakan, dan penghancuran.

Menyoal turunnya geliat ekonomi sebagai dampak dari kenaikan aktivitas Merapi saat ini, hendaknya kita sikapi dengan rasa syukur dan sabar, sebagai bentuk dari penghormatan atas Merapi yang punya hak untuk tumbuh dan bergerak sebagai bagian dari evolusi dan siklus kehidupan yang dijalaninya, sebagai makhluk Tuhan YME.

Kita berdoa semoga kenaikan aktivitas Merapi akan berlangsung tanpa menimbulkan bencana dan berlalu dengan sebaik-baiknya. Wallahualam. (Mimin Dwi Hartono, warga lereng Gunung Merapi, saat ini bergiat di Komnas HAM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com