Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Maleman Masyarakat Jawa Tondano Menyongsong Lailatul Qadar

Kompas.com - 07/06/2018, 20:16 WIB
Rosyid A Azhar ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.com – Malam ganjil di sepertiga akhir Ramadhan adalah masa yang sangat diistimewakan masyarakat Jawa Tondano.

Mereka lebih khusuk dan tawadu beribadah, terutama kaum usia lanjut. Masjid menjadi pusat kekhusukan warga Jawa Tondano ini.

“Kami biasa menggelar maleman, hitungan ganjil pada bulan Ramadan yang dimulai dari malam 21, 23 dan seterusnya,” kata Idris Mertosono, warga Kampung Jawa Yosonegoro Kabupaten Gorontalo, Kamis (7/6/2018).

Pada maleman ini, warga yakin akan turun malam lailatul qadar, malam yang syahdu dan hening. Di malam ini Tuhan akan melipatgandakan amal perbuatan manusia. Malam ini juga biasa disebut malam seribu bulan.

Baca juga: Tradisi Selikuran di Nyatnyono, Peziarah Berebut Berkah Nasi Ambengan

Memang belum ada ketentuan malam lailatul qadar akan jatuh di hari tertentu, namun masyarakat percaya jatuhnya pada malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadan.

Pada malam-malam ini warga akan menyambutnya dengan doa, mereka juga akan menyajikan makanan khas yang akan dibawa ke masjid untuk disantap bersama usai berdoa.

“Panggang ayam selalu ada saat maleman,” kata Liza Nurkamiden, warga Desa Kaliyoso, Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo.

Yang unik, ayam panggang ini disajikan dalam ancak atau usungan terbuat dari kayu. Pose ayam yang dibentangkan dengan menggunakan irisan bambu menambah penampilan yang memikat, juga aroma yang harum karena saat memanggang ayam dilumuri dengan rempah-rempah yang dihaluskan.

“Serundeng juga akan menyertai ayam dan nasi,” ujar Liza Nurkamiden.

Baca juga: Tradisi Selikuran di Masjid Kuno di Kaki Gunung Sumbing Magelang

Aneka makanan ini dimasukkan dalam sudi, daun pisang yang dibentuk sebagai wadah makanan. Biasanya berisi serundeng, sambel goreng dan acar. Dalam 1 ancak dapat memuat banyak sudi yang diatur rapi.

Di tempat lain, masyarakat Jawa Tondano ada yang menggunakan sosiru atau nyiru untuk meletakkan sudi sebagai pengganti ancak.

“Malam ini adalah malam ke-23, saya sudah siapkan ambeng (sajian makanan) dalam 1 ancak untuk dibawa ke masjid Al-Falah,” kata Jumaydi Kholil (22), warga Kelurahan Kampung Jawa, Tondano.

 

Ancak yang sudah siap dengan segala masakan lezatnya ini dibawa ke masjid saat adzan magrib berkumandang.

Setiap rumah tangga menyajikan masakan yang terbaik, ancak dibawa dua orang ke masjid saat matahari mulai memasuki cakrawala.

Baca juga: Sambut Lailatul Qadar dengan Tradisi Ela-ela di Kesultanan Ternate

Kentong dan beduk ditabuh, menandakan mulai masuk magrib, orang-orang menyeruput minuman dan makan hidangan pembuka, bisa kurma atau buah lainnya. Kemudian mereka bergegas membawa ancak ke masjid saat muadzin mulai mengumandangkan adzan magrib.

“Kami mengharap berkah Allah SWT dengan menyajikan ambeng ini di masjid,” ujar Jumaydi Kholil.

Usai shalat, makin banyak orang yang membawa ambeng ke masjid. Ancak atau sosiru diatur sedemikian rupa di dalam masjid.

Setelah semuanya lengkap, imam masjid kemudian memimpin doa, memohon kesehatan, keberkahan rezeki, kebaikan dan keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Segala amal ibadah selama Bulan Ramadan semoga diterima Allah SWT. Dan mereka berharap menjadi orang yang selalu bersyukur atas segala karunia yang diberikan.

Usai berdoa, ambeng pun dibagi beramai-ramai. Anak-anak adalah kelompok yang paling terlihat bahagia, mereka menikmati pembagian kuliner khas ini bersama sebayanya, sungguh nikmat.

Baca juga: Kenduri dan Long Bambu, Penanda Memasuki Hari ke-21 Ramadhan

Keceriaan anak-anak Jawa Tondano terlihat saat mereka pulang ke rumah dengan membawa sudi berisi makanan kesukaan mereka.

Namun tidak semua ambeng dibagikan kepada anak-anak, pengurus masjid menyisakan sejumlah ambeng untuk disantap usai shalat tarawih. Biasanya mereka yang tadarus (mengaji) akan menikmatinya.

“Orang tua atau orang yang tadarus biasanya makan ambeng setelah shalat tarawih,” ujar Nuraini Thayeb.

Rasa syukur ikhlas dan harapan untuk menjumpai malam lailatul qadar di malam ganjil akhir Ramadan memang menjadi motivasi warga Jawa Tondano menggelar ambengan di masjid.

Tradisi ini terus dipertahankan meskipun generasi terus berganti. Menu ambeng tak pernah berubah, ayam panggang, serundeng, sambal goreng dan acar.  

 

Tanah subur di tempat tinggal mereka telah memberi banyak hasil bumi untuk mencukupi kebutuhan hidup, dan sisanya disimpan sebagai tabungan.

Baca juga: Suku Jawa Tondano Merajut Silaturahim dalam Bingkai Budaya

Di manapun orang Jawa Tondano berada, tradisi ini terus dikembangkan. Kini orang Jawa Tondano sudah berpencar di berbagai daerah, tidak hanya di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka telah mengembangkan komunitasnya ke luar daerah, seperti di Desa Bojonegoro di Kabupaten Minahasa Selatan, Desa Ikhwan Kabupaten Bolaang Mongondow, Desa Yosonegoro, Kaliyoso, Reksonegoro, Mulyonegoro, Rejonegoro, Bandungrejo di Kabupaten Gorontalo.

Aneka makanan dalam sudi (wadah daun pisang) yang di tengahnya terdapat ayam panggang. makanan ini tersaji saat masyarakat Jawa Tondano menggelar malemanKOMPAS.COM/JUMAYDI KHOLIL Aneka makanan dalam sudi (wadah daun pisang) yang di tengahnya terdapat ayam panggang. makanan ini tersaji saat masyarakat Jawa Tondano menggelar maleman

Tradisi maleman

Tradisi maleman adalah tradisi lama yang dibawa para mbah dari Tanah Jawa. Mereka melestarikan tradisi ini awalnya di tepian Danau Tondano, Minahasa, tempat mereka dibuang pemerintah kolonial Belanda usai Perang Diponegoro tahun 1830.

Kiyai Mojo beserta anaknya Gazali yang baru berumur 6 tahun serta 62 pengikut setia yang semuanya kaum pria ini menjadi pelaku maleman pertama kali di tanah yang berawa-rawa jauh dari tempat asal mereka.

Kaum wanita, para gadis Minahasa yang dinikahi kombatan Perang Jawa ini juga terlibat aktif dalam budaya yang masih baru bagi mereka. Mereka turut membantu memasak dan menyiapkan semua keperluannya.

Dalam pengawasan pemerintah kolonial yang ketat, masyarakat Jawa Tondano tidak lagi menampilkan sosok prajurit perang seperti yang mereka lakukan sebelumnya saat Perang Jawa berkobar.

Baca juga: Menikmati Ambeng dan Iwak Koko Saat Meludan Masyarakat Jawa Tondano

Sekarang mereka lebih memikirkan kelangsungan hidup yangs saat itu tidak mudah dijalani. Tanah rawa yang tidak layak huni harus diakrabi agar bisa memberi daya hidup sehari-hari bagi mereka. Tidak mudah menjalani kehidupan di tanah buangan ini.

Berkat kearifan dan hubungan baik dengan masyarakat lokal, mereka dapat mengembangkan kehidupan sedikit demi sedikit, termasuk melestarikan tradisi maleman yang mereka bawa dari negeri asal, Jawa.

Generasi awal masyarakat Jawa Tondano, anak-anak hasil pernikahan suku Jawa dan Tondano ini kemudian menjadi pewaris tradisi maleman yang diturunkan hingga ke generasi saat ini.

Tradisi yang dibawa dari Tanah Jawa ini kemudian tumbuh dan berkembang di Semenanjung Minahasa seiring persebaran masyarakat Jawa Tondano.

Saat azan magrib terdengar, bergegas anak-anak Jawa Tondano yang berkulit putih bersih menuju masjid Al-Falah. Mereka mengiringi orang tuanya yang membawa ancak. Aroma ayam panggang yang penuh rempah tercium sepanjang jalan.

Baca juga: Museum Budaya Jawa-Tondano Segera Berdiri di Gorontalo

Ramadhan segera berakhir, masyarakat Jawa Tondano makin larut dalam kekhusukannya, mereka meneruskan tradisi tirakat seperti yang mereka jalani di Jawa sebelumnya, mengekang hawa nafsu, hidup sederhana penuh syukur dan menguatkan fondasi akidah generasi baru yang akan mewarisi tradisi santri mereka.

Bagi mereka, maleman bukan sekadar pesta ayam panggang dan lainnya, ada nilai spiritual yang dijalani untuk menjadi manusia paripurna. Salah satunya adalah menjumpai malam lailatul qadar, di mana amal ibadah manusia akan dilipatgandakan.

Lailatul qadar adalah malam istimewa, hanya turun pada Bulan Ramadan, namun tidak ada yang tahu kapan hari tepatnya. Misteri ini harus disambut dengan persiapan ruhiyah yang matang agar memperolah keberkahan malam seribu bulan ini.

Maleman adalah tradisi agraris masyarakat Jawa yang  tetap lestari di Sulawesi hingga kini.

Aroma panggang ayam masih tercium keharumannya, menyemangati sebagian kaum muda yang masih mengaji di masjid.

Malam terasa syahdu, hening, langit cerah dan perasaan nikmat tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Inikah malam lailatul qadar itu?

Kompas TV Festival Tanglong dan Bagarakan Sahur menjadi agenda wajib saat Ramadan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com