Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM

Staf senior Komnas HAM yang saat ini bertugas sebagai Plt Kepala Bagian Penyuluhan dan Kasubag Teknologi Informasi Komnas HAM. Pada 2006-2015, bertugas sebagai pemantau/penyelidik Komnas HAM. Hobi menulis, membaca, dan camping.

Gunung Merapi di Era Media Sosial

Kompas.com - 01/06/2018, 11:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GUNUNG Merapi tidak pernah kehilangan keelokan dan keanggunannya. Ia sangat indah dan menawan untuk dipandang, gagah sekaligus memesona siapa saja.

Gemericik air sungai, segarnya mata air, hutan yang lebat, tanah yang subur, dan alam yang indah telah menghidupi ratusan ribu masyarakat yang tinggal di kaki-kakinya. Namun, Gunung Merapi juga kadang kala garang menantang dan terkesan menjadi ancaman bagi hidup dan kehidupan masyarakat.

Sisi inilah yang saat ini diperlihatkan oleh Merapi kepada masyarakat sejak kenaikan status dari “Aktif” menjadi "Waspada" pada 22 Mei 2018. Siklus aktivitas Merapi meliputi Aktif Normal, Waspada, Siaga, dan Awas.

Upaya untuk mempersiapkan lokasi evakuasi warga sudah dilakukan dengan sigap oleh masyarakat ataupun pemerintah setempat. Penampungan sementara pun sudah dipersiapkan berikut logistiknya.

 

Bahkan, pemerintah pusat sudah mengirimkan Menteri Sosial untuk berkunjung ke Sleman beberapa waktu yang lalu dan menjanjikan dana bantuan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani juga menegaskan kesiapan pemerintah menghadapi berbagai skenario Merapi.

Baca juga: Merapi Kembali Meletus dengan Tinggi Kolom 6.000 Meter

 

Sampai saat ini warga tetap bertahan di rumah masing-masing, dengan berbagai alasan, yakni untuk menjaga aset kehidupannya, baik ternak, harta benda, dan sebagainya. Maupun keyakinan bahwa belum ada tanda-tanda dari alam dari perilaku Merapi maupun instruksi dari pimpinan daerah dan bahwa warga perlu mengungsi.

Pemerintah pun tidak lagi memaksakan kehendaknya dengan meminta warga untuk mengungsi. Di era media sosial saat ini, segala perkembangan atas aktivitas Merapi dapat diakses di berbagai kanal khususnya yang dikelola oleh BPPTK.

Pada tahun-tahun sebelumnya terutama sebelum letusan dahsyat pada 2010, terlihat ada gap dan perbedaan antara sikap dan keyakinan masyarakat dengan pemerintah.

Pemerintah menganggap tanda-tanda yang ditangkap dengan teknologi modern oleh BPPTK (Balai Penyelidikan dan Penelitian Teknologi Kegunungapian) adalah yang paling benar dan otoritatif sehingga masyarakat harus segera dievakuasi ketika ada gejala kenaikan aktivitas Merapi.

Di sisi lainnya, masyarakat berpegang pada pengalaman, kearifan masyarakat, dan tanda-tanda alam tentang perlu tidaknya mengungsi, walaupun data pengamatan dari BPPTK pun tetap mereka perhatikan.

 

Dulunya, pemerintah secara kaku berpegang pada data pengamatan dari BPPTK dan sangat kurang mengakomodasi kearifan lokal, kultur, dan keyakinan masyarakat setempat.

Akan tetapi kondisi saat ini sudah berbeda, ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat, khususnya melalui media sosial yang memungkinkan warga dan pemerintah saling berbagi informasi.

Menengok ke belakang, dalam peristiwa letusan Gunung Merapi 22 November 1994, masyarakat memang mengandalkan tanda-tanda dari alam untuk mengungsi dan menyelamatkan diri karena waktu itu bisa dikatakan peralatan peringatan dini milik BPPTK kurang optimal. Misalnya, sirine yang seharusnya berbunyi sebagai tanda peringatan bagi warga tapi tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Demikian pula pada letusan Februari 2001, inisiatif wargalah yang membuat warga waspada. Pun dengan letusan pada 2006, warga masih memegang kuat "tanda-tanda" alam untuk menentukan waktu untuk mengungsi.

Kondisi berbeda terjadi pada letusan dahsyat pada 2010 yang menelan banyak korban jiwa – termasuk Juru Kunci Gunung Merapi Mbah Marijan - serta berdampak masif dan luas, karena adanya peningkatan status yang sangat cepat dan adanya keyakinan dari sebagian orang bahwa wilayahnya aman dari erupsi.

Baca juga: Letusan Merapi Mengarah ke Utara dan Selatan, Waspadai Hujan Abu

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com