Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rekaman Falsafah Jawa Pegangan Soeharto di Museum Kemusuk Bantul

Kompas.com - 23/05/2018, 12:13 WIB
Dani Julius Zebua,
Reni Susanti

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com - Negara-negara di dunia konon segan pada wibawa kepemimpinan Presiden ke-2 RI Jenderal TNI Soeharto.

Kesimpulan tersebut telah mengakar di antara masyarakat Indonesia. Mereka juga mengaitkan kepemimpinan penuh wibawa itu pada prinsip hidup yang dipegang Soeharto.

Bukan rahasia bagaimana Soeharto memegang nilai-nilai luhur dari falsafah Jawa sebagai prinsip hidup.

Itu pula yang menjadi dasar ia mengemban tugas di berbagai level hingga menjadi pemimpin negara ini, bahkan selama 32 tahun kepemerintahannya.

Baca juga: Ruang Tamu Cendana Malam Itu, Sehari Jelang Mundurnya Soeharto...

Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, merekam banyak sekali falsafah Jawa yang dianut Soeharto.

Falsafah itu tertulis di dinding, tiang-tiang, di foto berbingkai, dan lainnya.

Presiden ke-2 RI Soeharto dikenal memiliki pedoman hidup yang diambil dari banyak falsafah jawa. Falsafah Sa Sa Sa salah satu yang paling terkenal sekaligus jadi pegangan selama memimpin negeri ini.KOMPAS.com/Dani J Presiden ke-2 RI Soeharto dikenal memiliki pedoman hidup yang diambil dari banyak falsafah jawa. Falsafah Sa Sa Sa salah satu yang paling terkenal sekaligus jadi pegangan selama memimpin negeri ini.
Falsafah Sa Sa Sa

Termasuk, falsafah "Sa Sa Sa". Falsafah ini paling terkenal di antara falsafah lain, sekaligus jadi pegangan Soeharto selama memimpin rumah tangga maupun negeri ini.

Kepala Pengelola Museum, Gatot Nugroho menceritakan, “Sa Sa Sa” berasal dari kata sabar atine, sareh tumindak, dan saleh.

“Sebagai orang Jawa, dia senang merangkum filosofi menjadi pedoman dalam memimpin di rumah tangga maupun negara,” kata Gatot, Selasa (22/5/2018).

Pedoman itu mengingatkan seorang pemimpin di mana pun harus memiliki sikap sabar pada siapa saja, terutama anak buah.

Dengan sabar, sang pemimpin tidak mudah ambigu, memiliki pemikiran jernih, dan matang dalam memutuskan.

Baca juga: Pertemuan Soeharto dan Para Tokoh Masyarakat Jelang Lengser

Kemudian sareh tumindak atau bijaksana. Diartikan sebagai kemampuan menyaring dengan baik dan kemampuan menghadapi persoalan dengan bijak.

“Sabar dan kebijaksanaan itu menghasilkan wibawa,” ungkapnya.

Sedangkan saleh diartikan sebagai selalu mendekatkan diri pada Tuhan.

Gatot menceritakan bagaimana masyarakat sering menilai Soeharto menunjukkan sikap kukuh atas tiap ucapannya, terkesan matang, berwibawa, dan religius.

Selain itu, Soeharto terkenal dengan tidak menyampaikan sesuatu dengan ungkapan marah.

“Maka, sering kali disebut senyum Soeharto itu memiliki banyak arti dan sangat dalam,” kata Gatot.

Tidak hanya “Sa Sa Sa”. Banyak falsafah jawa yang ikut menjadi bagian dari perjalanan politiknya hingga politik luar negerinya.

Selasar dalam bangunan diorama yang menggambarkan banyak pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, hingga pengendalian penduduk. Diorama itu juga menunjukkan banyak penghargaan pada diri Soeharto kebijakan pembangunannya itu.KOMPAS.com/Dani J Selasar dalam bangunan diorama yang menggambarkan banyak pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, hingga pengendalian penduduk. Diorama itu juga menunjukkan banyak penghargaan pada diri Soeharto kebijakan pembangunannya itu.
Gatot mencontohkan, pedoman jawa “sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji dan menang tanpa ngasorake”.

Artinya, kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa bala tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan. Falsafah ini tertera di salah satu foto Soeharto yang sedang tersenyum.

Bila diartikan sederhana, Soeharto melakukan semuanya secara diplomatis untuk mencapai tujuan, bahkan urusan politik luar negeri.

Itulah yang kemudian membuat banyak negara mau bersekutu dengan Indonesia.

“Jadi bila ke negara lain itu berarti diplomasi. Dia datang ke negara sahabat tanpa pasukan tetapi diplomasi,” kata Gatot.

Prinsip-prinsip itu yang diyakini membuat kabinetnya kuat dan semua anak buahnya segan pada Soeharto.

Mengenal falsafah, pedoman, serta nilai di dalamnya bisa dilihat di Museum Soeharto di Kemusuk itu.

Falsafah jawa tidak lepas dari kehidupan Soeharto sejak kecil. Ia belajar agama Islam sejak kecil sekaligus berada di lingkungan keluarga Jawa yang memegang nilai-nilai luhur Jawa.

Renungan dalam masyarakat Jawa itulah yang kemudian dijadikannya prinsip hidup. Bila diresapi, renungan itu mengandung arti kebajikan dan penuh pesan.

Falsafah-falsafah menjadi pedoman Soeharto banyak tertera di Museum Soeharto di Kemusuk itu.

Mulai dari halaman depan, rumah transit keluarga di mana tergantung foto-foto Soeharto, hingga di pendopo belakang di petilasan Soeharto.

 

Patung perunggu Jenderal Soeharto menyambut siapapun datang ke museum itu.KOMPAS.com/Dani J Patung perunggu Jenderal Soeharto menyambut siapapun datang ke museum itu.

4 Bangunan Utama

Museum ini memiliki luas 3.620 meter persegi. Terdiri dari 4 bangunan utama, yakni pendopo joglo yang mampu memuat 400 orang, pendopo kecil sebagai petilasan, gedung diorama, dan sebuah bangunan untuk rumah transit bagi keluarga dan kerabat di bagian belakang museum.

Semua bangunan itu seolah bercerita tentang capaian-capaian Soeharto selama memimpin republik ini.

Capaian tersebut bisa dilihat dalam bentuk video yang diputar di museum tersebut. Termasuk dalam diorama, yang semuanya menunjukkan keberhasilan memimpin negeri ini.

Pengunjung bisa ikut merasakan kedekatan maupun mengaitkan antara capaian itu dengan banyak falsafah yang tertera di sana.

Dengan prinsip hidup Jawa, Soeharto bisa mencapai puncak karir di dalam negeri maupun internasional.

Pengunjung

Pengunjung yang datang kebanyakan adalah pelajar. Dalam sehari, terhitung lebih dari  500 pengunjung. Lebih dari 60 persennya adalah pelajar.

Mereka biasa mendapat paparan profil Soeharto, menyaksikan diorama, film tentang Soeharto, maupun diskusi panjang lebar dengan pengelola museum. 

Museum Soeharto diresmikan H Probosutedjo (adik dari Soeharto) dan Siti Hardiyanti Hastuti (Mbak Tutut, putri pertama Soeharto), bertepatan dengan hari lahir Soeharto 8 Juni 2013.

Museum ini didirikan untuk mengenang jasa dan pengabdian Soeharto semasa hidupnya. Tujuannya untuk menginspirasi generasi muda.

Koleksi yang tersimpan di dalamnya antara lain benda kenangan milik Soeharto sejak berdinas di kemiliteran hingga saat menjabat presiden Republik Indonesia.

Tak hanya itu, berbagai prestasi yang pernah diraih semasa menjabat Presiden ikut menghiasi museum tersebut.

Di bagian depan, patung besar Jenderal Besar HM Soeharto menyambut siapapun yang masuk ke destinasi ini. Pengunjung bisa masuk secara gratis.

Museum Soeharto berada di Jalan Wates km 10 Yogyakarta. Lokasinya sekitar 1,5 km di belakang Kampus Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

"Banyak orang kesini menjelang peringatan Orde Reformasi, sekitar seminggu sebelum tanggal 21. Biasanya diskusi (mereka mengeluhkan) sekarang tidak karuan-karuan,"  pungkasnya. 

Kompas TV Pada 21 Mei, Indonesia akan memperingati 20 tahun orde reformasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com