Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Sinyal dari Korban Anak Pelaku Teror

Kompas.com - 21/05/2018, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


KENAPA saya katakan sinyal? Secara eksklusif saya menemukannya. Saya mendatangi sekolah anak Dita Oepriarto, pelaku teror.

Dari seorang guru di seolah itu, saya mendapat informasi mengenai akun mendia sosial si anak itu. Ada sinyal yang sudah disampaikan anak itu beberapa bulan sebelumnya.

 

Ada empat korban anak pelaku teror yang masih hidup. Mereka secara intensif dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Polda Jawa Timur.

Tidak hanya luka tubuh, jiwa mereka juga terguncang luar biasa. Saya mendatangi mereka tanpa kamera, tapi tidak bisa langsung berkomunikasi.

Mereka dijaga super ketat. Tempat mereka dirawat pun dirahasiakan.

Saya mendapat informasi dari Kepala Tim Psikolog Kasus Bom Surabaya AKBP Said Rifai, ada anak yang tidak mau makan beberapa hari. Tim dokter terpaksa menggunakan infus untuk menyuplai makanan kepada sang anak.

Beruntung kondisinya sudah semakin stabil dari hari ke hari meski perlu perawatan trauma karena peristiwa yang dialaminya sungguh luar biasa. Usianya masih di bawah 10 tahun.

Unggahan janggal siswa kelas 11 SMA

Saya meminta informasi terkait media sosial yang dimiliki anak sulung Dita Oepriarto yang berusia 18 tahun. Dita adalah ketua JAD Surabaya. Ia bersama istri dan empat anaknya adalah pelaku utama bom di tiga gereja di Surabaya beberapa waktu lalu.

Baca juga: Kapolri: Pelaku Utama Bom Gereja di Surabaya Ketua JAD Surabaya

Anak sulung Dita adalah pengendara sepeda motor yang meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Jawa Timur.

Sepintas, nyaris tak ada satu pun tanda di salah satu akun media sosialnya. Sampai saya menemukan sebuah foto dengan nuansa gelap dan bertulis, “...So Much…Won’t Leave it…”

Saya tanyakan, kepada Sang Guru, foto apa yang diberi caption olehnya.

Guru itu menjawab, “Itu foto sekolah kami di sini.”

Saya kembali bertanya, apakah ia melihat kejanggalan itu? Ia menjawab, tidak melihat kejanggalan apa pun.

Saya coba menganalisis, jika ia tidak ada rencana pindah sekolah, tentu menjadi janggal, karena tulisan itu menunjukkan ia tidak ingin meninggalkan sekolahnya. Anak itu baru duduk di kelas 11, bukan kelas 12 yang hendak lulus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com