PEKAN ini umat Muslim memulai ibadah puasa. Ramadhan, bulan kesembilan dalam kalender Islam, dan dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia dengan berpuasa, dalam konteks Indonesia saat ini tentu saja kegiatan ini diharapkan mendinginkan suasana Pilkada Serentak 2018.
Harapan besar ini tidak berlebihan, mengingat luka Pilkada DKI 2017 yang kental dengan nuansa politik identitas yang intimidatif belumlah kering.
Doa dan harapan untuk kedamaian didaraskan akibat cobaan yang menimpa bangsa ini karena aksi terorisme beruntun di sejumlah wilayah. Tidak hanya menyasar aparat keamanan, aksi keji yang melibatkan anak-anak tersebut menyasar kegiatan ibadah.
Pada sisi lain, Ramadhan dalam pelaksanaan Pilkada 2018 secara skeptis dapat dilihat sebagai kesempatan para pemburu kekuasaan yang bertarung sebagai ajang menjual diri. Apalagi kalau bukan menunjukkan tingkat kesalehan masing-masing.
Baca juga: Jaga Kesucian Ramadhan, Bawaslu dan Ormas Islam Deklarasi Gerakan Bersama Pilkada Bersih
Menonjolkan citra yang berintegritas agama, selalu menjadi salah satu strategi komunikasi politik penting di Indonesia. Kesalehan dalam bungkus ritus dan semiotika beragama melalui pakaian dan atribut menjadi hal penting.
Karena agama masih dianggap hal serius, agama merupakan senjata yang ampuh dalam hal mengail dukungan. Integritas agama menjadi penting dalam setiap kegiatan politik di Indonesia karena agama menjadi kecenderungan mayoritas masyarakat Indonesia.
Alhasil pembentukan citra dari aspek agama selalu dilakukan dengan harapan akan relevan bagi pemilih.
Dalam hal candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorietasi pada kandidat di Indonesia, bukan hal aneh bila musim kampanye tiba maka mendadak kabar tentang rajinnya kesalehan para calon pemimpin, melalui ritus agama dan penampilan, yang seharusnya menjadi kesalehan pesonal, ditunjukkan secara terbuka dan masif melalui berbagai saluran (channel).
Harapannya tentu saja adalah respons positif dari para pemilik suara yang diharapkan berkeyakinan dengan citra kesalehan tersebut maka para calon pemimpin mampu menjalankan amanat rakyat: tidak saja melakukan perubahan sosial dan ekonomi, namun juga takut menjalankan keputusan yang menyimpang dari ajaran agama.
Dalam komunikasi politik, terutama paradigma mekanistik terdapat unsur komunikator, pesan, media, khalayak, dan efek. Pusat kajiannya terletak pada efek dengan keyakinan bahwa efek yang positif dapat diciptakan, direkayasa, dibina, dan diperkuat oleh komunikator.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.