Swadaya Masyarakat
Demmalino mengatakan, sekolah ini berdiri empat tahun lalu atas inisiatif warga dengan biaya swadaya. Warga sengaja membangunnya karena jarak rumah dan sekolah mencapai 6 kilometer.
Tak ada fasilitas istimewa di dalamnya. Meja-meja dan kursi darurat serta papan tulis seluruhnya merupakan hasil swadaya murni.
Sekolah berukuran sekitar 3x5 meter itu terdiri dari 2 ruangan. Setiap ruangan diberi sekat. Satu untuk kelas, satu untuk ruangan guru. Tak ada perpustakaan apalagi sarana komputer.
Bahkan buku di sekolah ini bisa dihitung jari. Itu pun kondisinya sudah lusuh bahkan robek karena sudah lama digunakan.
Baca juga : Memprihatinkan, Nenek 80 Tahun Bertahan Hidupi Dua Anaknya yang Gangguan Jiwa
Sekolah darurat tersebut digunakan siswa kelas 1-3. Jumlah siswa sebanyak 36 orang dengan jumlah guru PNS 1 orang, dan guru honorer 4 orang.
Tokoh masyarakat yang juga panitia pembangunan SDN 008 Rante Tanete, Pemangga menyebutkan, sekolah ini didirikan lantaran warga prihatin anak-anak harus berjalan jauh untuk sekolah.
“Mulanya orangtua prihatin anak-anak mereka sekolah sangat jauh. Saat hujan dan jalan becek, mereka kerap tak bisa bersekolah. Warga kemudian sepakat bergotong royong mebangun sekolah darurat ini,” tuturnya.
Sebuah Harap
Sekretaris Desa Salumokanan Utara, Marten berharap, pemerintah setempat bisa segera membangun gedung sekolah yang lebih layak.
Ia juga berharap pemerintah melengkapi fasilitas sekolah seperti buku-buku dan perpustakaan agar bisa menunjang peningkatan skill, kemampuan, dan pengetahuan siswa.
“Saya mewakili masyarakat berharap pemerintah bisa membangun gedung sekolah permanen dan sarana belajar yang lebih baik agar siswa bisa mengejar ketertinggalan mereka,” jelasnya.
Para guru dan siswa di sekolah ini berharap, sekolah bambu yang menjadi tumpuan harapan mereka membangun mimpi-mimpi masa depan yang indah, kelak dilirik pemerintah.
Begitupun dengan fasilitas, agar mereka bisa duduk setara dengan siswa lain di kota yang menikmati segala fasilitas pendidikan yang berlimpah.