Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik karena Penggunaan Trawl, Tiga Kapal Nelayan Disandera

Kompas.com - 30/04/2018, 21:29 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Konflik antarnelayan di perairan Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, gara-gara penggunaan trawl terjadi lagi.

Pada Minggu (29/4/2018) siang, sekelompok nelayan Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, memaksa tiga kapal nelayan dari desa tetangganya, Sungai Bakau, merapat ke Pantai Teluk Bogam.

Mereka tak terima nelayan tetangganya itu menggunakan trawl saat mencari ikan di perairan sekitar 9 kilometer dari Pantai Teluk Bogam.

Nelayan Teluk Bogam juga menganggap aktivitas nelayan trawl itu telah menghilangkan sebagian jaring nelayan Teluk Bogam untuk menangkap rajungan dan kepiting.

Meski tanpa aksi kekerasan, kapal, dan trawl itu sempat ditahan di Teluk Bogam sampai lebih dari 24 jam.

Baca juga: Hari Nelayan di Bengkulu Dimeriahkan Parade Kapal Tolak Trawl

 

Kapal-kapal itu dibebaskan dan trawlnya dibakar setelah melalui perundingan agak alot yang dimediasi pihak Dinas Perikanan Kotawaringin Barat.

Mediasi ini juga dihadiri sejumlah aparat kepolisian dari Polsek Kumai dan Satpolairud Polres Kotawaringin Barat, di Balai Desa Teluk Bogam, Senin (30/4/2018).

Beberapa nelayan Teluk Bogam awalnya berkeras kasus ini diselesaikan secara hukum. Mereka juga menuding masih adanya nelayan menggunakan trawl karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

"Ini karena ada unsur pembiaran sehingga masyarakat yang bertindak. Kita bicara bukan soal solusi, tapi penegakan hukum," kata Ramsan, nelayan Teluk Bogam.

Mulyadi, Ketua Badan Perwakilan Desa Bogam, pun menolak dengan keras mediasi tanpa penindakan hukum.

Menurut dia, banyak trawl yang masih digunakan nelayan luar Teluk Bogam.

Pihak Desa Sungai Bakau, yang diwakili kepala desanya, Ahmad Yani, dan beberapa nelayan, mengaku warganya memang salah.

Namun, dia berharap ada solusi dan siap mengganti separuh kerusakan jaring nelayan Teluk Bogam.

Baca juga: Dilarang Melaut, Nelayan Trawl Bengkulu Diberi Jatah Hidup

Setelah berjalan cukup alot, mediasi di Balai Desa sempat dipindah ke ruang kantor desa. Sampai akhirnya disepakati bahwa setelah kasus ini, tidak ada lagi mediasi atas pelanggaran larangan penggunaan trawl.

Kemudian, pihak Sungai Bakau pun mengganti penuh nilai harga jaring warga Teluk Bogam yang hilang.

Kesepakatan lainnya, kapal yang disandera akan dikembalikan, tetapi semua alat tangkapnya dibakar.

Kesepakatan pemusnahan alat tangkap trawl itu tertuang dalam berita acara yang ditandatangani Kepala Desa Teluk Bogam, M Syahrian, dan Kepala Desa Sungai Bakau, Ahmad Yani.

Trawl itu dibakar dengan disaksikan warga kedua desa dan aparat kepolisian, Senin (30/4/2018) sore.

Syahrian mengatakan, konflik soal penggunaan trawl ini bukan hal baru di wilayahnya. Tahun lalu, ia mencatat juga ada dua kali konflik. Saat itu, nelayan pengguna trawl mengaku bersalah dan berjanji tak akan menggunakan trawl kembali.

Ia pun mengaku, sebenarnya ada satu warga desanya yang juga menggunakan trawl, dengan menggunakan perahu bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pula.

Namun, ia beroperasi di luar perairan Teluk Bogam.

Mulyadi, staf Bidang Tangkap Dinas Perikanan Kotawaringin Barat selaku mediator, mengatakan, larangan trawl tetap berlaku dan sudah disosialisasikan.

"Tinggal mencari pengganti alat tangkapnya lagi," kata dia.

Kompas TV Di tengah panasnya bursa cawapres untuk Joko Widodo nama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ikut mencuat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com