Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebentuk Cinta Profesor Birute pada Orangutan

Kompas.com - 28/04/2018, 21:42 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Birute Mary Galdikas, satu dari dua peneliti awal tentang kera besar yang masih aktif, akan berusia 72 tahun 10 Mei mendatang.

Ia kini memang tak seenergik seperti saat menggendong dan menuntun sekaligus dua orangutan, yang gambarnya menjadi sampul majalah National Geographic edisi bahasa Inggris pada Oktober 1975.

Namun, perempuan kelahiran Wiesbaden, Jerman, ini seperti tak kehilangan spiritnya untuk terus terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan konservasi dan orangutan.

Ia tiba dari Jakarta ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dengan membawa satu orangutan dan beruang madu yang lama tercerabut dari habitatnya di Kalimantan, Senin (23/4/2018).

Lalu, dalam pekan ini juga, Birute harus menjadi pembicara dalam pelatihan peningkatan kapasitas SDM interpreter destinasi Tanjung Puting, dalam tiga pertemuan (Rabu, Jumat, dan Minggu). Masing-masing pertemuan berdurasi tiga jam.

Kamis (26/4/2018) kemarin, ia pun ikut melepasliarkan seekor macan dahan yang tertangkap di kawasan rehabilitasi orangutan milik Orangutan Foundation International (OFI) di Pangkalan Bun, ke Sungai Buluh Kecil di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.

Jarak menuju ke lokasi itu harus ditempuh lebih dari satu jam dengan speed boat melintasi perairan Teluk Kumai, di tepi Laut Jawa.

"Kalau ada di Pangkalan Bun, ibu selalu ikut dalam rilis orangutan atau binatang lain," tutur Fajar Dewanto, Field Director OFI pada Kompas.com, Jumat (27/4/2018).

Baca juga : Lama di Jakarta, Orangutan Ini Akhirnya Kembali ke Kalimantan

Bukan hanya pada aktivitas yang bersifat fisik. Guru besar pada Simon Fraser University, British Columbia, Kanada, ini juga menuntut konsentrasi penuh dalam setiap pembicaraan tentang orangutan.

Ia meminta dua kipas angin besar di ruangan tempat pelatihan interpreter di Tourism Information Center (TIC) Tanjung Puting, dimatikan karena berisik. Padahal, udara siang saat ia berbicara itu sangat panas.

Ia juga memperhatikan detail lain. Ketika daftar kehadiran ditandatangani 26 orang, ia mempertanyakan kenapa yang hadir hanya 25 orang.

Dedikasi pada orangutan

Spirit dan kedetailan itulah mungkin menjadi aspek terpenting yang membuat dedikasi Birute untuk orangutan dan konservasi lingkungan tetap menggelora sejak 47 tahun silam.

Birute datang pertama kalinya ke Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada 1971 untuk sebuah riset perilaku orangutan di bawah promotor Louis Leakey, ahli paleoantrologi.

Berkat kerja kerasnya dalam riset di wilayah yang saat itu masih sangat alami hutannya, Birute berhasil mengenalkan orangutan sebagai bagian dari bangsa kera besar dunia. Sebelumnya, orang hanya tahu simpanse dan gorila gunung di Afrika sebagai golongan kera besar itu.

Leakey kemudian menyebut Birute, bersama Jane Goodall, ahli simpanse, dan Dian Fossey (1932 - 1985), pakar gorila gunung, yang lebih dahulu melakukan penelitian, sebagai The Trimates.

Baca juga : Kenapa Orangutan di Penangkaran Lebih Cerdas daripada di Alam?

Karena riset orangutan itu pula, Birute meraih doktor dari University of California Los Angeles (UCLA) dengan disertasi berjudul Orangutan adaptation at Tanjung Puting Reserve, Central Borneo pada 1978. Selain menjadi profesor di Simon Fraser, Birute juga menjadi guru besar luar biasa pada Universitas Nasional Jakarta.

Ia juga menerima begitu banyak penghargaan yang diberikan padanya, termasuk kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia karena perannya dalam menggerakkan konservasi lingkungan hidup.

Perempuan berdarah Lituania ini kemudian mendirikan OFI sebagai lembaga yang memayungi aktivitas penelitian, konservasi dan rehabilitasi orangutan pada 1986. Kini ada 230 karyawan yang bekerja di OFI.

Birute memperlakukan orangutan layaknya manusia. Di hadapan peserta pelatihan interpreter, ia mengaku mencuci tangan sampai 20 kali sehari, demi menjaga agar orangutan tak tertular bakteri yang dapat menimbulkan penyakit.

"Kita harus menghormati orangutan, seperti manusia," tutur Birute.

Orangutan dan pariwisata

Menurutnya, orangutan dan Tanjung Puting bisa hidup karena pariwisata. Tapi pariwisata harus diatur. Ini karena orangutan merupakan primata liar, yang sensitif terhadap kegaduhan dan cahaya terang. "Orangutan memang bisa dekat, tapi masih berjiwa liar," ujarnya.

"Kalau orangutan mati, kita sering bikin otopsi. Banyak yang mati karena stres. Jadi kita jangan ribut-ribut seperti orang Spanyol," kata Birute.

Ia meminta para pemandu wisata bersikap profesional. Melayani dengan serius, tapi juga tegas dalam menerapkan aturan dalam kawasan taman nasional.

Baca juga : Kok Orangutan Bisa Merokok, Begini Kata Dokter Hewan...

Birute menerbitkan memoar berjudul Reflections of Eden: My Years with the Orangutans of Borneo pada 1995. Baginya, orangutan dan Tanjung Puting sebagai habitatnya layaknya surga. Meski begitu, dalam perjanalannya kini level, keaslian Tanjung Puting, tidak seperti lebih empat dekade lalu, saat ia pertama kali datang.

"Masih ada tempat di Tanjung Puting yang belum tersentuh. Yang paling perawan, di dalam. Itu di rawa, masih ada pohon ulin. Memang tidak begitu banyak. Tapi sepuluh, dua puluh ribu hektare masih ada," kata dia

"Kalau dulu burung yang alami, burung ruwai masih ada. Tapi sekarang sudah tidak ada. Pernah juga ada badak. Saya datang tahun 1971 ke Desa Sekonyer. Masih lihat ada lumpur, tempat mereka mandi lumpur," lanjutnya.

Birute mengaku begitu khawatir akan keberlanjutan orangutan dan Tanjung Puting. Namun, ia merasa tertolong dengan kehadiran pelaku pariwisata di Tanjung Puting. "Oh khawatir sekali. Itu sebabnya saya senang sekali ada pemandu yang mau training, sampai mereka bisa bantu masa depan Tanjung Puting," ujarnya.

"Suatu kali saya mengucapkan terima kasih pada pemandu, waktu mereka melawan api, di kawasan taman nasional. Satu pemandu bilang sama saya, tidak perlu ucapkan terima kasih. Kami berjuang untuk pekerjaan kita. Mereka paham tidak ada hutan, tidak ada orangutan," pungkasnya.

Kompas TV Pemburuan Orangutan Tapanuli yang terus terjadi membuat Orangutan Tapanuli terancam punah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com