Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Caroline Damanik
EDITOR REGIONAL

Editor Regional Kompas.com | milenial konservatif | pemuja storytelling | pencandu bossa-swing | tukang makan | diet is always starting tomorrow

Untuk Kita, Perempuan Milenial yang Masih Bingung Mau Belajar Apa dari Kartini

Kompas.com - 21/04/2018, 14:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“SELAMAT Hari Kartini untuk para perempuan di grup ini. Semoga bla bla bla bla”.

Sudah berapa pesan seperti ini yang kita terima hari ini, 21 April?

Mungkin kita perempuan yang masih beruntung mendapatkan ucapan semacam itu melalui aplikasi pesan singkat atau media sosial atau bahkan secara langsung. Dulu, Ayah saya salah satu yang selalu rajin mengucapkannya.

Kenapa beruntung?

Pertama, ucapan itu biasanya disebutkan bersama bermacam-macam harapan dan motivasi, “semoga perempuan Indonesia begini, semoga perempuan Indonesia begitu”.

A man falls in love through his eyes, a woman through her ears (pria jatuh cinta dari matanya, wanita dari telinganya”.

Kalimat Woodrow Wyatt, politisi, penulis dan jurnalis asal Inggris, ini relevan karena secara psikologis, perempuan sangat senang diingatkan tentang harapan dan diberi motivasi. Apa yang didengar bisa memengaruhi sebagian besar mood selama seharian.

Kedua, berarti Anda punya teman yang baik karena yang memberi ucapan setidaknya telah mengakui dan berupaya mengingatkan kita bahwa Kartini memiliki peran yang besar dalam perjalanan perempuan Indonesia saat ini.

Hanya sebagian kecil yang mungkin mengirimkan pesan-pesan semacam ini karena dia adalah orang yang terlalu menghargai seremonial.

Baca juga Visual Interaktif Kompas (VIK): Menjaga Api Kartini

***

Kemarin, iseng saya bertanya kepada sebagian sahabat perempuan yang saya sangat kagumi. Mereka berusia mulai dari 23 tahun hingga 50-an tahun. Perempuan-perempuan biasa, tetapi bisa dibilang telah menginspirasi saya setiap hari.

Pertanyaannya, apa sih nilai dari sosok Kartini yang kamu pahami dan telah memengaruhi hidupmu?.

Respons pertama mereka menggelikan.

Yang ditanya secara langsung, misalnya, ada yang langsung menatap lekat-lekat, mungkin ingin memastikan bahwa saya memang sedang bertanya serius. Ada juga yang tidak percaya diajukan pertanyaan tersebut.

“Kakak nanya apaan,  sih?” katanya sambil tertawa lalu ngeloyor pergi. Saya tepuk jidat.

Yang ditanya lewat aplikasi pesan singkat, biasanya mulai dari tertawa. Ada pula yang langsung terang-terangan menolak.

“Hahahaa aku harus mikir dulu nih. Nanti malam aku tulis ya.”

"Buset. Ogah. Ekke gak terlalu memahami. Hahahaha,” demikian jawaban teman yang lain.

Kalau Anda ditanya, apa respons Anda?

Pertanyaan iseng ini sebenarnya muncul sebagai bagian dari selftalk yang terpikirkan ketika sedang menyusun rencana pekerjaan.  Respons pertama saya terhadap pertanyaan ini, ya tertawa juga. Ngapain mikir berat sore-sore.

Hanya saja tampaknya perlu.

Masih relevankah nilai-nilai Kartini untuk para perempuan milenial saat ini?

 

Belajar dari Kartini

Nama Raden Adjeng Kartini dikenang sebagai pahlawan bukan karena perjuangan atau peperangan fisik, tetapi gagasan dan pemikirannya. Melalui pena dan surat yang pada zamannya lebih tajam dari pisau atau tombak.

Keberanian Kartini berangkat dari kekecewaan karena tidak diperbolehkan orangtuanya melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi meski bagi perempuan seumurannya pada zamannya, sekolah adalah barang langka, hanya untuk kaum elite pribumi seperti dirinya.

Kartini kecewa karena saudara laki-lakinya bisa menamatkan pendidikan di sekolah menengah umum pada zaman Hindia Belanda, Hogere Burgerschool atau HBS, sedangkan anak-anak perempuan tidak.

Buku-buku terbitan yang mengangkat soal RA Kartini.KOMPAS.COM/AMIR SODIKIN Buku-buku terbitan yang mengangkat soal RA Kartini.
Simak surat Kartini di bawah ini:

Kami, anak-anak perempuan yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pendidikan itu. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah."

"Dan, satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami hanyalah sekolah rendah umum biasa untuk orang-orang Eropa. Pada umur 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk "kotak', saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar."

"Saya tidak boleh keluar lagi selama belum berada di sisi seorang suami, seorang laki-laki asing sama sekali, yang dipilih orangtua tanpa setahu kami." 

Demikian sepenggal isi surat balasan Kartini kepada sahabat penanya, Estella Zeehandelar di Belanda, tertanggal 25 Mei 1899, seperti dikutip dari buku Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno.

Dalam surat yang sama pula, Kartini mengungkapkan alasannya ingin memiliki sahabat pena. Kutipan dari suratnya ini kerap menghiasi berbagai tulisan ataupun mengisi pertunjukan di panggung-panggung tentang emansipasi wanita.

"Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang 'gadis modern', yang berani, yang mandiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang, dan gembira, penuh semangat dan keceriaan."

"Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia."

Kartini memiliki sejumlah sahabat pena yang membuat wawasannya terbuka dan pemikirannya semakin tajam sehingga dia ingin mengenyam pendidikan sama tingginya dengan saudara laki-lakinya.

Kartini ingin bebas, mandiri dan merdeka. Tidak terbelenggu pada adat di kalangan masyarakat pribumi pada masa itu.

Maka, bisa jadi, menyelami makna perjuangan Kartini dalam konteks praktis dalam kehidupan perempuan saat ini justru telah menjadi tantangan spesial.

Namun, jangan pernah sampai melupakannya.

Menurut Kartini, perempuan justru yang perlu mendapatkan akses pendidikan setinggi-tingginya. Mengapa?

Kartini mengungkapkan, perempuan yang menjadi ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Dia memikul tanggung jawab pertama kali sebagai pendidik di tengah keluarga.

Betul, Kartini bicara soal akses pendidikan formal setinggi-tingginya. Namun, dia sadar, pendidikan tak semata soal pencapaian gelar. Mendidik bukan sekadar membuat anak menjadi pintar dan cerdas.

Kemampuan intelektualitas dan wawasan yang luas dari seseorang tidak akan berarti apa-apa tanpa budi pekerti yang baik. Dan menurut Kartini, pendidikan terintegritas seperti itu di dalam keluarga hanya bisa diberikan oleh seorang ibu.

"Perempuanlah, kaum ibu yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari manusia, yang biasanya terkenang dalam hidupnya. Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan di rumah tangga hendaknya membentuk watak anak itu!" ungkap Kartini.

Berdasarkan pemikiran ini, Kartini sadar betul bahwa seorang ibu di tengah keluarga menentukan arah perjalanan dan peradaban sebuah bangsa.

Oleh karena itulah, Kartini ngotot memperjuangkan pendidikan kejuruan untuk perempuan Hindia Belanda waktu itu dengan menyampaikannya kepada Tuan dan Nyonya JH Abendanon di Jepara.

Hal ini disampaikan Kartini juga bukan untuk memperjuangkan haknya semata, tetapi juga perempuan-perempuan lain di sekitarnya.

Halaman berikutnya: Ingat empat hal dari Kartini

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com