Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kakek Murah, Mantan Pemburu Ikan Duyung

Kompas.com - 15/04/2018, 10:28 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Namanya Murah Seker. Kini ia sudah berusia 71 tahun. Pagi itu, di bawah matahari yang makin meninggi, kakek tua itu menceritakan pengalamannya 30-an tahun lalu, saat masih muda dan garang dalam berburu ikan duyung (dugong dugon).

Kakek Murah sedang mempraktikkan ulang adegan-adegan perburuan mamalia laut yang kini keberadaannya makin terancam punah itu, di halaman kantor Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Kamis (12/4/2018).

Dengan sebilah tombak yang dipegang dengan kedua tangannya mendatar setinggi pinggang, ia berdiri tegak, membayangkan tengah memimpin kelompok kecilnya di atas sebuah sampan.

"Dalam posisi seperti ini, teman di belakang masih boleh mendayung perlahan-lahan," kata dia.

(Baca juga: Sulitnya Melacak Ikan Duyung dan Lamun di Perairan Kotawaringin Barat)

Lalu, ketika mangsa yang ditarget terlihat berada di sekitar sampan, ia menegakkan tombaknya di sisi kanan, dengan mata tombak yang disebut tempuling, mengarah ke bawah. "Dalam posisi begini, jangan ada bunyi-bunyi lagi. Ikan duyung sudah mau timbul," jelasnya.

Sejurus kemudian, ia mengangkat tombaknya, siap membidik sasaran, saat mamalia herbivora itu muncul di permukaan air. Dan, "crappp!"

Saat mengena ke sasaran, mata tombak akan terlepas, menancap mengikuti ke mana gerak ikan yang terluka itu. Namun, mata tombak itu tetap dalam kendali si pemburu. Itu karena mata tombak telah diikatkan pada tali sepanjang 200 meter.

Tali itu berada di sekujur tombak sepanjang 3 meter. Di pangkal tombak, ia digulung layaknya benang layangan pada sebilah kayu kecil, yang dahulu berbahan rotan. Saat mata tombak tertancap ke tubuh duyung, tali akan dilepas dari tombaknya.

Lalu, pemburu membiarkan saja duyung nahas itu berusaha lari sejauh untaian tali kontrolnya. "Kita biarkan kira-kira sepenghabisan sebatang rokoklah," lanjut Murah.

(Baca juga: Habitat Duyung di Perairan Selatan Kalimantan Makin Terancam)

Kemudian, anggota pemburu yang di belakang Murah, melemparkan lagi tombak dengan mata tombak lainnya ke tubuh duyung yang makin kehabisan tenaganya itu. "Bisa empat sampai lima kali tombak. Karena duyung yang kita buru besar," ungkap Murah lagi.

Itu baru satu teknik. Cara lain berburu duyung adalah dengan menyandera duyung yang sudah tertangkap. Luka duyung itu diobati dengan tembakau jawa untuk menghilangkan bau darahnya. Lalu, si duyung yang disandera itu diikat, ditambatkan pada satu tiang.

"Biasanya duyung-duyung lain akan datang mendekat," ujarnya

 

Siungnya mahal

Waktu itu sekitar tahun 1965. Murah belum lagi berumur 20 tahun. Itulah saat ia mulai ikut berburu duyung.

Mulanya ia pergi dan belajar teknik berburu itu dari orangtuanya. Tradisi itu ia jalani terus, sampai ia terpilih sebagai pembekal (kepala desa) pada 1987.

(Baca juga: Menteri Susi Angkat Bicara soal Uang Kompensasi Pembebasan Ikan Duyung)

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com