Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kakek Murah, Mantan Pemburu Ikan Duyung

Kompas.com - 15/04/2018, 10:28 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

Menurut dia, kebiasaan berburu duyung ia hentikan lantaran mulai muncul larangan. Namun, ujar Hairusalam, staf kantor desa yang mendampinginya pagi itu, sebenarnya ia berhenti lantaran sudah tak melaut lagi.

Larangan mengonsumsi duyung baru dipertegas melalui PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, sebagai implementasi dari UU Keanekaragaman Hayati yang terbit pada 1990.

Menurut Murah, dahulu di pantai Teluk Bogam, perairan Laut Jawa, selatan Kalimantan itu, duyung bisa dilihat dengan hanya berdiri di dermaga tambatan perahu. Ia mengatakan, daging duyung begitu lezat, dengan kandungan lemak tinggi.

"Tinggal potong-potong, cuci bersih, kasih garam, sudah," kata dia.

Meski begitu, yang paling diincar dari perburuan mamalia langka ini adalah siung (taring)-nya. "Kalau sekarang masih ada, harganya bisa sampai Rp5.000.000. Begitu bisik-bisik yang saya dengar dari orang yang mencari siung itu," imbuh Murah.

(Baca juga: Ikan Duyung Dilepasliarkan dengan Kompensasi Rp 8 Juta)

Menurut kakek dengan 21 orang cucu ini, saat belum ada larangan berburu duyung, para pejabat daerah, termasuk bupati kerap datang memesan siung duyung. Siung itu berguna sebagai bahan membuat pipa penghisap rokok.

Rupanya, keahlian membuat pipa penghisap rokok dari siung di Teluk Bogam ini terkenal sampai keluar daerah. Menurut Murah, ia pernah mendapat pesanan dari Bali dan Pulau Belitung. Bahkan, pernah bahan atau siungnya itu dikirim dari daerah itu.

Kini keahlian berburu duyung itu tak lagi diwariskan ke anak cucu Murah. Larangan mengonsumsi duyung pun diperlakukan ketat di Teluk Bogam.

Desa ini menjadi salah satu tempat program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) dilaksanakan, selain di Bintan, Toli-Toli, dan Alor.

Ini merupakan program yang diinisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

(Baca juga: Bayi Ini Lahir dengan Tubuh Mirip Putri Duyung)

Idham Farsha, Site Manager WWF Indonesia untuk program DSCP di Kabupaten Kotawaringin Barat menuturkan, kini masyarakat sudah tahu dugong dilarang dikonsumsi. Menurutnya, perburuan menjadi salah satu penyebab langkanya dugong, selain limbah laut, dan rusaknya padang lamun, sebagai habitatnya.

Namun, Murah menolak bila tradisi perburuan itu yang menjadi penyebab terancam punahnya duyung. Ia mengatakan, limbah dan polusi suara dari mesin-mesin perahu saat inilah yang menyebabkan duyung menjauh.

Meski begitu, Murah yakin masih banyak duyung di perairan sekitar desanya. "Kalau pembekal melaut, mengatakan tiap malam ketemu. Kadang dua, satu, tiga," cetus Murah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com