Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Pemuda Gereja Peragakan Adegan Yesus Disalib Prajurit Bersenjata Keris...

Kompas.com - 30/03/2018, 17:39 WIB
Dani Julius Zebua,
Farid Assifa

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com — Ratusan orang berkerumun di pelataran parkir Wisma Persaudaraan Sejati di Jalan Sanun, Wates, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Jumat (30/3/2018) menjelang siang.

Wisma ini berada dalam kompleks Gereja Katolik Bunda Maria Penasihat Baik. Mereka menyaksikan bagaimana anak-anak muda berseragam prajurit Jawa menyiksa tiga orang yang tak berdaya lantas menggantungnya di tiang salib.

Adegan demi adegan penyiksaan membangkitkan rasa ngeri, seperti mencambuk tubuh, membenamkan paku pada kaki dan tangan, dan ditingkahi lontaran kalimat penuh amarah.

Semua kekejaman penyiksaan ini memang bukan aksi nyata. Ini hanyalah bagian dari tablo (drama tanpa dialog) yang secara utuh mengadopsi kisah kematian Yesus Kristus atau Isa Almasih di zaman pemerintahan Romawi dulu. Drama ini menjadi tradisi yang dinamai “Jalan Salib” bagi umat Katolik dalam memperingai hari kematian Yesus. Sedangkan hari peringatannnya disebut Jumat Agung, seperti hari ini.

Jalan Salib juga berlangsung di berbagai belahan dunia. “Jumat Agung merupakan peringatan kami pada penderitaan Yesus mulai dari disalibkan hingga dimakamkan. Dikemas dalam tablo yang juga dilakukan di banyak gereja Katolik di seluruh dunia,” kata Ignasius Joko,  jemaat gereja sekaligus Pembimbing Iman bagi Anak Usia Dini, Jumat (30/3/2018).

Baca juga : Prosesi Jalan Salib di GKJ Karangdowo Klaten Libatkan Seniman Muslim

Anak-anak muda yang tergabung dalam Orang Muda Katolik di Gereja Katolik Bunda Maria Penasihat Baik di Wates mengemas “Jalan Salib” ini dengan cara berbeda dibanding tablo serupa yang sering dilakukan di berbagai tempat.

Kebanyakan drama penyaliban di berbagai tempat berupaya menampilkan gambaran nyata, seperti tentara Romawi dengan baju zirah, tameng, dan tombak. Para pemuka agama dan pejabat-pejabat Romawi memakai jubah-jubah panjang.

Kali ini berbeda. OMK Wates mengombinasi tablo dengan adat Jawa. Mereka yang memainkan peran sebagai pemuka agama mengenakan pakaian lengkap ala pejabat keraton, yakni menutup kepala dengan blankon, mengenakan surjan mewah sebagai bajunya, jarik di bagian bawahan, dan mengenakan sandal selop. Mereka juga menyelipkan keris di balik pinggang.

Para perempuan juga tampil beda. Mereka mengenakan baju kebaya dan jarik batik sebagai bawahan.

“Jadi yang pakai pakaian (surjan mewah) itu memerankan pemuka agama di zaman Romawi,” kata Joko.

Tentara yang menyalibkan dan membunuh Yesus tidak ditonjolkan dalam gaya tentara Romawi kuno. Sebaliknya, tentara kali ini mengenakan seragam prajurit keraton bersenjata golok, kapak, tombak dan cambuk.

Dengan tampilan itu, kesan ngeri, sedih, dan marah, akan bercampur dengan perasaan geli. Terlebih, sepanjang drama berlangsung, para prajurit itu sering melontarkan kalimat-kalimat dalam bahasa jawa. Jadilah prosesi penyaliban itu mengharukan tetapi sekaligus menggelikan.

Tablo berlangsung hampir 90 menit. Saat itu hari menjelang siang. Meski terik panas hari itu, mereka semua melakoni seluruh adegan dengan kusyuk. Mulai dari Yesus diarak keliling gedung, dipaku, dinaikkan ke tiang salib bersama dua lainnya, diolok-olok, mati, dan semua orang di pelataran itu bersimpuh di kaki salib itu. Semua yang menonton drama ini akan mendengar suara merintih, tangis, hingga gelak tawa.

Semua itu membuat campur aduk perasaan antara drama yang menyegarkan, geli, tapi juga ngeri. Ratusan orang mengeliling prosesi itu ada yang bengong, ada yang juga menangis, ada yang memisahkan diri dari kerumunan karena perasaan haru.

“(Semua adegan itu) membuat banyak ibu-ibu menangis dan memilih masuk ke gedung,” kata Joko.

Baca juga : Jelang Paskah, Sivitas Akademika Unika Soegijapranata Semarang Dibasuh Kakinya

Ignatius mengatakan, drama penyaliban kali ini memang sengaja melibatkan potensi kelompok anak muda gereja. Anak muda dirasa selalu melahirkan hal-hal yang kreatif dan menyegarkan. Kebetulan tablo seperti ini tidak memiliki pakem seperti halnya pewayangan. Karenanya, unsur kreativitas cukup menonjol di tablo kali ini.

“Romo Paroki yang menginginkan supaya anak muda terlibat dan bisa ikut menghayati. Maka, dibuatlah tablo ini oleh kelompok pemuda,” kata Joko.

Gereja Katolik Wates memiliki rangkaian acara panjang dalam mengenang kesengsaraan Yesus. Awalnya berlangsung dalam Misa Kamis Putih yang berlangsung lancar pada Kamis (29/3/2018) kemarin, dari pukul 19.00-21.00 WIB. Hari ini, berlangsung prosesi Jalan Salib. Menyusul kemudian malam Ibadah Jumat Agung. Puncak mengenang kesengsaraan Isa Almasih ini berlangsung pada hari Minggu (1/4/2018) ketika umat Kristiani akan merayakan Paskah bersama.

Kompas TV Refleksi jalan salib dibuat lebih sederhana dengan tema "Perbedaan yang Mempersatukan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com