Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nenek 103 Tahun Menangis Saat Ingat Namanya Dicabut dari Daftar Penerima PKH

Kompas.com - 29/03/2018, 10:13 WIB
Junaedi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

PINRANG, KOMPAS.com — Di lantai gubuknya yang becek setelah semalam diguyur hujan, Nenek Becce yang berusia 103 tahun tampak duduk di atas bangku tua yang kakinya sudah condong.

Bibir nenek yang akrab dipanggil Sandro Becce ini tampak tak pernah putus mengucap kalimat syahadat dan istigfar atau memohon ampunan kepada Tuhan. Di tangan kirinya terdapat tasbih dan sebuah tongkat tua yang setia menemaninya.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” kata Nenek Becce menjawab salam dari Kompas.com ketika kami berkesempatan mendatangi gubuk tuanya di kompleks pekuburan, tepatnya di Jalan Basuki Rahmat di Kelurahan Maccarwalie, Kecamatan Wattang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Minggu (25/3/2018) kemarin.

Kedatangan Kompas.com ke gubuk tuanya sambil menemani dia berbincang-bincang banyak hal. Mulai dari pengalaman hidup, tips menjaga kesehatan hingga bisa berusia panjang, sampai kondisi gubuk tuanya setelah suaminya, Judda, meninggal. Obrolan tersebut membuat Nenek Becce terhibur.

Beberapa kali ia mengusap punggung Kompas.com sambil berterima kasih atas kunjungannya.

“Terima kasih, Nak, kamu datang seperti anak saya sendiri,” ucap Becce lantas tersenyum.

Karena tak ada kursi, Kompas.com duduk menyamping dengan Nenek Becce sambil memperhatikan kondisi dan seisi gubuk tuanya yang sudah bocor dan kehujanan. Sudut atap bagian belakang bahkan sudah ambruk dan tak terurus lagi sejak suaminya meninggal.

Baca juga: Jual Obat Terlarang, Seorang Nenek Ditangkap Polisi

Nenek Becce hampir dua jam bercerita banyak hal tentang pengalaman pahit dan getir kehidupan dia membangun rumah tangga dengan almarhum suaminya, Judda.

Becce menceritakan masa kejayaannya ketika suaminya saat masih hidup bekerja sebagai mandor bangunan yang mempekerjakan banyak buruh. Becce sendiri bekerja sebagai sandro atau dukun beranak ketika ia masih muda.

Ia jarang tinggal di rumahnya karena setiap hari banyak anak sandro atau pasien yang antre datang menjemput di rumahnya. Demi pelayanan terbaik, Nenek Becce mengaku tak pernah mengecewakan warga yang butuh jasanya. Saat ada warga melahirkan malam atau subuh hari, ia tak pernah berkeluh kesah dan tidak merasa tidur malamnya terganggu.

Kadang jika terlalu banyak pasien, Sandro Becce kadang tak pulang ke rumah seharian karena sibuk melayani ibu melahirkan dari kampung ke kampung, bahkan luar Kabupaten Pinrang yang sudah mengenalnya.

Meski berjubel pasien, Becce tak pernah pasang tarif pelayanan. Kerap jika pasiennya orang tak mampu, ia malah tak mau menerima fee atau pemberian apa pun.

“Tetapi, itu dulu, Nak, sekarang saya sudah tua, sudah tak mampu. Ya, begini saja setiap hari di rumah, kadang kalau saya bosan, saya bersihkan rumput sekitar rumah hingga malam hari,” ucap nenek dalam dialek Bugis.

Tak lagi dapat PKH

Pembicaraan Nenek Becce yang tampak bersemangat itu tiba-tiba terhenti dan raut wajahnya muram ketika Kompas.com menanyakan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) yang biasa ia terima.

“Itu mi anak, saya ini kasihan sudah tua begini, sudah tak bisa bekerja dan hanya berharap uluran tangan orang, tiba-tiba nama saya dicabut, katanya tidak berhak menerima karena mampu ji katanya,” ucap Nenek Becce dalam dialek Bugis yang kental sambil sesekali ia menyeka mata yang sembap.

Baca juga: Nenek Alma: Saya Menyesal, Tidak Akan Curi Pepaya Lagi...

Sandro Becce tak habis pikir, apa alasan pemerintah mencabut namanya dari daftar penerima PKH. Ia mengaku tambah sedih ketika ia tahu bahwa banyak warga lain penerima manfaat sosial yang disalurkan pemerintah status sosial dan ekonominya jauh lebih mapan daripada dirinya.

Usapu sapu kasi dadaku nak, ko uwitai to sogie mattrima, napa najjai alena to kasiasi, mega galunna. Nappa iyya kasi aga waramparakku, matoa tona, lemmuna nyawana pamarentah (Saya usap-usap dada saja, Nak, banyak orang kaya yang saya kenal menerima dan pura-pura miskin. Sawahnya luas. Sementara saya miskin papa tidak punya harta apa pun, saya sudah tua renta, sudah tak mampu bekerja, tetapi tega-teganya pemerintah menghapus nama saya sebagai penerima),” kata Becce.

Becce berdoa bahwa suatu hari kelak bisa bertemu lurah, camat, atau bupati, ia akan mempertanyakan alasan namanya dicabut dari penerima bantuan sosial itu.

“Sudah lama mi kasihan, Nak, saya hanya bisa melihat orang lain datang menerima bantuan raskin karena katanya nama saya sudah tidak terdaftar,” kata Nenek Becce menyeka air matanya dengan tepi sarungnya yang lusuh.

Tetangga Becce, Baba, membenarkan bahwa nama Nenek Becce tidak lagi terdaftar sebagai penerima bantuan sosial.

“Memang, Pak, seperti warga lainnya, namanya dihapus sebagai penerima karena diangap masih mampu,” ucap Baba.

Menurut Baba, di dusunnya terdapat 80 lebih warga penerima bantuan sosial yang dihapus, termasuk Nenek Becce.

Nenek miskin

Nenek Becce sebenarnya memiliki lima anak. Tiga di antaranya telah meningal dunia. Satu anaknya kini berkebun di Topoyo, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Sementara satu anak perempuan lainnya telah bersuami dan dikaruniahi delapan anak. Mereka tinggal di Pinrang, tetapi kondisi kehidupan perekonomiannya juga tak lebih sama dengan Nenek Becce.

Praktis, Nenek Becce tak bisa berharap banyak dari anak-anaknya. Karena alasan itulah Becce mengaku lebih senang tinggal di gubuk tuanya seorang diri.

Baca juga: Curi 3 Pepaya untuk Dimakan, Nenek Miskin Dilaporkan ke Polisi

Sebelum tinggal di lahan perkuburan itu, Nenek Becce pernah tinggal bersama suaminya di lahan milik orang lain di Jalan Andi Pawelloi, Pinrang. Lokasinya tidak jauh dari area pekuburan yang ditinggalinya sekarang.

Becce dan suaminya terpaksa pindah karena pemilik tanah tersebut menjual lahan yang ditempatinya.

Gubuk tua berukuran 4 meter x 3 meter dibangun almarhum suaminya dari tumpukan barang-barang bekas, seperti kayu dan seng bekas. Tak terlihat ada perabotan istimewa di dalamnya. Hanya ada sebuah kelambu lusuh dan rosban tua dari papan kayu yang menjadi tempat tidurnya. Hanya ada ember, beberapa piring, dan baskom tua yang berserakkan di sekitar tungku dapurnya.

Di atas rosban tempat tidurnya tergantung sebuh radio tua yang juga sudah tak berfungsi karena baterainya soak.

Becce kerap mendapat bantuan sumbangan ala kadarnya, kadang Rp 5.000 atau Rp 20.000 dari para peziarah kubur yang datang. Becce biasanya baru banyak mendapat sumbangan pada hari Lebaran saat warga ramai-ramai berziarah ke makam keluarganya.

Meski ia hidup sebatang kara di gubuknya, ia tak mau jadi beban hidup orang lain. Karena alasan itu pula, Nenek Becce mengaku senang dan memilih hidup sendiri di gubuk tuanya.

Baca juga: Kisah Nenek 70 Tahun Rawat Putrinya yang Lumpuh dan Tak Bisa Melihat

Tempo hari ada warga yang hendak membangunkan WC di sekitar gubuknya. Namun, karena alasan tak punya uang dan tak bisa membalas kebaikan tetangganya, Becce menolak. Maklum, nenek ini hanya menumpang mandi dan buang air ke WC tetangga terdekat.

“Biasanya kalau malam mau buang air sembarang WC saya datangi,” kata Nenek Becce.

Kompas TV Di rumah ini, Halimah tinggal hanya berdua dengan putrinya yang bernama Wa Jia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com