Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Temuan Cacing Pita 10,5 Meter, Dinkes Simalungun Sebut Tidak Punya Obatnya

Kompas.com - 27/03/2018, 22:24 WIB
Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi


SIMALUNGUN, KOMPAS.com - Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun menyebutkan tidak ada obat cacing pita untuk orang dewasa, menyusul penemuan cacing pita di daerah itu.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, Surbabel Saragih, Selasa (27/3/2018) sore.

Surbabel mengatakan, jika memang pihak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) Medan menemukan warga menderita penyakit cacing pita di Nagori Dolok, pihaknya tidak memiliki obat untuk penyakit itu.

"Obat cacing itu tidak ada sama kita, mungkin dari luar negeri baru ada. Kalau anak-anak sudah kita berikan," kata Surbabel.

Hanya saja, ujar Surbabel, pihaknya merasa heran dengan keterangan pihak FK UISU Medan yang menyebut Nagori Dolok menjadi endemik cacing pita.

Baca juga: Cacing Pita Sepanjang 10,5 Meter Ditemukan di Simalungun

Dia menuturkan, hal ini sebetulnya sudah lama, yaitu FK UISU melakukan penelitian di Nagori Dolok setelah ada warga di sana berobat ke klinik salah seorang tim FK UISU. Pasien itu menderita cacing pita.

"Tim FK UISU lalu melakukan penelitian ke Nagori Dolok setelah ada MoU dengan Dinas Kesehatan Simalungun. Cuma heran kenapa disebut endemik cacing pita," ucap Surbabel.

Saat disebut ada 171 kasus yang ditemukan oleh tim FK UISU, Surbabel menyebut bisa jadi seperti itu, tetapi tidak lantas jadi endemik.

Sebelumnya, Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU Medan, dr Umar Zein, Senin (26/3/2018), menyebutkan, pihaknya pada 2 November 2017 menemukan 171 kasus warga terkena cacing pita di Nagori Dolok. Di sana mereka menemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter yang dikeluarkan warga bersama kotorannya.

Umar menambahkan, diperkirakan mayoritas warga di enam nagori di Kecamatan Silau Kahean mengidap penyakit cacing pita. Penyebabnya karena warga mengonsumsi makanan khas Simalungun, yaitu hinasumba atau holat, yang bahannya dari daging babi.

"Daging babi itu dimakan, tapi tidak sempurna masaknya atau sama sekali tidak dimasak. Itulah penyebabnya," katanya.

Baca juga: Kasus Cacing Pita 10,5 Meter, Warga Diduga Makan Daging Babi Mentah

Umar mengakui, tak ada obat khusus cacing pita tersebut di Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, bahkan di Medan juga tak ada. Itu sebabnya, FK UISU melakukan kerja sama dengan tiga universitas asal Jepang dan empat universitas di Indonesia berkaitan dengan penemuan endemik penyakit cacing pita (Taeniasis) tersebut.

"Kita bekerja sama dengan universitas di Jepang agar kemudian mereka meneruskan hasil penelitian ke WHO, yang kita harapkan bisa memberikan bantuan untuk pengobatan penyakit cacing pita ini," terang Umar. 

Disebutkan, tim sudah selesai melakukan pemeriksaan molekuler terhadap empat sampel cacing pita, termasuk draf artikel ilmiah. Selanjutnya, artikel tersebut dikirim ke badan dunia World Health Organization (WHO) guna melanjutkan proses penelitian atas penemuan endemik Taeniasis.

"Sembari menunggu dukungan dari WHO, tim FK UISU akan kembali turun ke lokasi yang sama di mana tempat pertama kali ditemukan cacing pita," ungkapnya.

Kompas TV Hasil uji laboratorium Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru, menemukan 3 produk impor sarden berisi cacing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com