Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kang Girin, dari Buruh hingga Bawa Desanya Jadi Kampung Batik Terkenal

Kompas.com - 24/03/2018, 10:48 WIB
Dani Julius Zebua,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Industri batik di Kecamatan Lendah di Kulon Progo, Yogyakarta, berkembang sangat cepat. Kampung-kampung di Lendah sekarang dihuni ribuan pembatik.

Jauh sebelum krisis moneter menggoyang kemapanan ekonomi negeri ini di 1997, masyarakat Lendah dikenal sebagai pekerja bagi para usahawan dan pabrik di Yogyakarta, termasuk juragan batik.

Setiap pagi, ratusan warga, kebanyakan perempuan, mengayuh sepeda dari Lendah ke Yogyakarta lalu kembali pada sore hari.

Kang Girin, pemilik Sembung Batik di Desa Gulurejo, mengurai kembali kenangan itu. Sogirin, nama kecil Kang Girin, masih 13 tahun ketika mengawali jadi buruh di tahun 1987.

(Baca juga: Bagaimana Membedakan Batik Jogja dan Solo?)

Tamat SD, Girin langsung ikut kakaknya kerja pada salah satu juragan batik di Tirtodipuran, Yogyakarta. Selain di Tirtodupuran, masih banyak juragan lain. Anak-anak seusia Girin tanpa keahlian bekerja di kota.

Setiap hari, kaki kecil Girin mengayuh sepeda 30 kilometer jauhnya. Begitu pula saat kembali.  Pergi pagi pulang sore.

“Keputusan membatik merantau itu sudah dilakukan para simbah (orang tua) dan warga terdahulu. Rata-rata anak muda seusia saya kerja di Yogya. Itu kerja bagus bagi orang yang biasa pakai ijazah,” kata Girin.

Perempuan nulis (mencanting) batik, sedangkan Girin terasah dengan cap dan mewarna. Dia kuat dalam menciptakan corak.

Dalam perjalanan itu, muncul banyak konsep baru penuh kreativitas tentang corak batik di dalam kepalanya.

Titik balik

Dia hanya memendam konsep-konsep baru itu di benaknya hingga masa surut industri terjadi pada krisis ekonomi 1997.

Apa-apa serba mahal, tahun itu. Banyak orang tak lagi mengandalkan hidup di kota. Banyak yang berdikari di kampung sendiri.

(Baca juga: Kisah Mas Rinto, Tukang Bakso Berdasi yang Terinspirasi James Bond)

Girin yang sudah dewasa baru saja menikah saat itu. Semula, dia mengharap perbaikan renumerasi mengimbangi mahalnya harga barang.

Dia hanya sanggup bertahan 2 tahun pasca-krisis ekonomi. Sebab, gaji tak ada perubahan, kebutuhan keluarga pun jadi taruhan. Dia memutuskan berhenti bekerja dari sang juragan. Fanatisme batik belum kuat masa itu. Dia merasa, berdikari bikin batik tidak menjanjikan.

“Waktu itu siapa yang mau dengan batik. Tahun 1999 itu, saya bawa pulang ilmu batik. Siapa yang mau. Batik itu tidak laku, makanya usaha lain,” kata Girin.

Karena itu, dia berani banting setir, seperti kerja di tambang pasir, bisnis cendol, kelapa, hingga kayu jati. Sepuluh tahun usaha mandiri gagal. Utang menggunung, cicilan menunggak berbulan-bulan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com