Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Banjir Bandang di Cicaheum Bandung Bisa Terjadi?

Kompas.com - 21/03/2018, 15:02 WIB
Dendi Ramdhani,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Banjir bandang yang menerjang kawasan Cicaheum pada Selasa (20/3/2018) sore membuat geger warga Bandung.

Luapan air dari Sungai Cicabe dan Cipamokolan yang bercampur lumpur tumpah ke jalan hingga mengakibatkan jalur arteri sempat terputus.

Sebanyak 17 mobil dan sejumlah kendaraan roda dua dilaporkan rusak parah akibat terseret arus banjir. Menurut warga, banjir kali ini merupakan yang terparah.

Pakar Hidrologi dan Lingkungan Universitas Padjadjaran Chay Asdak menilai, banjir bandang Cicaheum merupakan fenomena kerusakan alam yang melahirkan bencana hidrologi yang fatal.

Sebab utamanya, alih fungsi lahan di kawasan Bandung Utara (KBU) yang masif dengan aktivitas pembangunan perumahan.

"Kehawatiran yang selama ini kita sampaikan, perubahan landscape yang terjadi di kawasan Bandung Utara yang memanjang dari Kabupaten Bandung Barat hingga Sumedang akan memberikan bencana hidrologi yang datang tiba-tiba. Istilahnya flash flood, banjir singkat tapi dampaknya besar," kata Chay lewat sambungan telepon seluler, Rabu (21/3/2018).

(Baca juga: Berita Foto: Banjir Bandang di Cicaheum Bandung, Lumpur Tebal, hingga Mobil Bertumpuk)

Dari kajian hidrologi, lanjut dia, alih fungsi lahan membuat air hujan tak sempat tertangkap tanah.

Dengan kondisi topografi Bandung yang seperti mangkok, debit air pun meluncur deras ke kawasan bawah. Sementara itu, material lumpur yang terbawa merupakan akumulasi longsoran kecil di kawasan hulu sungai.

"Kami lihat lumpur yang terjadi kemungkinan hasil longsoran yang terdeposisi dari banyak tempat. Jadi saat hujan datang, sebetulnya intensitas hujan tidak terlalu besar, tapi karena tidak ada yang menahan tadi jadi seperti kemarin," ungkap Chay.

Dalam kajian hidrologi, lanjut dia, KBU memang sangat sensitif dengan banjir bandang. Sebab, rentang wilayah pegunungan dan permukiman warga di bawah cenderung pendek atau curam. Itu artinya, tak menutup kemungkinan insiden serupa akan terulang.

"Intinya puncak pegunungan di KBU di atas 750 mdpl ke daerah permukiman itu sangat pendek. Sehingga ditambah dengan kerusakan landscape pada rentang jarak yang tidak panjang tadi, maka tidak memungkinkan air bisa parkir dan masuk ke dalam tanah. Ini yang tidak disadari oleh masyarakat," tuturnya.

Menurut Chay, banjir bandang yang terjadi seharusnya tak mengejutkan, khususnya bagi pihak yang pernah terlibat dalam moratorium KBU pada 10 tahun lalu. Sebab, sejumlah pakar lingkungan sudah mewanti-wanti agar pemerintah memperketat aturan dan pengawasan pembangunan di KBU.

"Saya kira apa yang kami kemukakan 10-15 tahun lalu jadi kenyataan karena dulu kita all out mencegah KBU 750 mdpl itu untuk dibuat moratorium tapi ternyata jalan terus. Lihat di Dago atas," tuturnya.

(Baca juga: Banjir Bandang Cicaheum Bandung, Gerusan Air hingga Eksploitasi KBU)

Melihat kondisi saat ini, Chay menilai pemerintah provinsi dan daerah di Bandung Raya mesti mengkaji ulang soal aturan KBU.

"Pertama, kendalikan perizinan. Jika yang sudah ada, beri pendekatan agar memakai praktik yang ramah lingkungan, buat sumur resapan, kalau lahan luas RTH dijadikan kolam retensi. Kenapa penting karena kan banyak pengembangan perumahan-perumahan. Perluasan perumahan itu bagus dalam konteks lingkungan hidup karena kita bisa menekan pengembangnya untuk membuat RTH dan kolam retensi," ungkap Chay.

"Ini kembali urusan komitmen, pemerintah harus menargetkan pengembang perumahan tadi. Sementara di luar perumahan bisa melalui mekanisme kelurahan dan RT/RW dengan membersihkan parit dan lainnya," tambahnya kemudian.

 

Kompas TV Karier Utut Adianto diawali dari dunia olahraga catur. Ia terjun ke dunia politik dan menjadi anggota dpr dari PDI Perjuangan pada tahun 2009 lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com