Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ngadeni, Empu Keris dari Gunung Kidul

Kompas.com - 19/03/2018, 07:16 WIB
Markus Yuwono,
Reni Susanti

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Keris, sebagai salah satu identitas masyarakat Jawa hingga kini masih banyak disimpan masyarakat. Ada yang menjadikannya koleksi, hiasan di rumah, hingga perlengkapan pakaian Jawa.

Untuk hiasan dan perlengkapan, biasanya dibuat perajin keris. Namun untuk keris yang disimpan sebagai benda pusaka, dibuat oleh seorang empu.

Salah satu empu yang masih mempertahankan pembuatan keris secara baik, yakni Empu Ngadeni. Ia tinggal di Dusun Grogol II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Tinggal di rumah sederhana berwarna hijau, kakek yang lahir 6 Juni 1933 ini menghabiskan waktu bersama Majanem istrinya dan anaknya. Setiap tamu yang datang disapanya dengan ramah, dan memintanya untuk mengisi buku tamu kecil.

"Nanti suatu saat saya pas kebetulan main ke sekitar rumah bisa mampir," kata Ngadeni saat ditemui kompas.com di rumahnya, Minggu (18/3/2018).

(Baca juga : Mencari Keris Madura, Datanglah ke Aeng Tong Tong... )

Setelah itu, dia mengeluarkan keris pesanan salah seorang warga Yogyakarta yang dibungkus kertas putih. Keris tersebut dibuat beberapa minggu lalu. Ngadeni sendiri tidak mematok waktu pembuatan keris.

"Saya membuat keris itu tidak sembarangan waktunya, dan membutuhkan persiapan khusus, sehingga menghasilkan keris yang bagus. Pekerjaan dilakukan dengan sabar pasti hasilnya bagus, beda jika menggunakan emosi," tuturnya.

Keris buatan Empu Ngadeni.KOMPAS.com/Markus Yuwono Keris buatan Empu Ngadeni.
Setiap pemesan keris harus menyebutkan tanggal lahir dan weton (hari kelahiran dalam penanggalan Jawa). Jumlah luk atau bagian yang berlekuk dari sebuah keris dan bentuk keris pun tidak ditentukan sebelumnya, semua bergantung hasil tempaan.

Ia sendiri mengaku tidak mengetahui pamor yang keluar dari masing-masing keris yang dibuatnya. Pamor keris akan keluar setelah keris diperhalus, dan dia akan memberitahukan kepada pemesan mengenai gambar atau pamor yang keluar tersebut.

"Keris yang saya buat harus bisa diwariskan ke anak cucu. Saya hanya membuat keris jika dipesan. Saya tidak membuat keris untuk dekorasi," imbuhnya.

(Baca juga : Keris PM Belanda dan Presiden Rusia Akan Dihibahkan ke Museum Keris di Solo )

Ngadeni mengaku mewarisi ilmu pembuatan keris dari ayahnya Karyo Diwongso, Empu Tosan Aji, saat dirinya masih tinggal di Padukuhan Kajar, Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari.

Nama tersebut ada dalam buku berjudul 'Pedekar-Pendekar Besi Nusantara'. Buku kajian antropologi tentang Industri Pande Besi Pedesaan di Indonesia oleh Ann Dunham Soetoro, ibu mantan Presiden Amerika Barack Obama.

"Ayah saya belajar dari bapaknya, atau kakek saya. Waktu itu hanya melihat saja, tidak pernah belajar langsung," tuturnya.

Empu Ngadeni menunjukkan lokasi pembuatan keris di rumahnya.KOMPAS.com/Markus Yuwono Empu Ngadeni menunjukkan lokasi pembuatan keris di rumahnya.
Setiap satu keris dibuat selama dua minggu sampai satu bulan, dengan harga tergantung bentuk dan ukuran. Paling murah Rp 2,5 juta dan paling mahal Rp 6 juta.

Tak hanya membuat keris baru, Ngadeni juga membuat keris yang berasal dari keris lama yang didaur ulang.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com