Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Philipus Jadi Anggota DPRD Cuma Bermodal Rp 2,5 Juta

Kompas.com - 16/03/2018, 12:11 WIB
Firmansyah,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

MINAHASA, KOMPAS.com - Ruang dialog umum di Wanua Koha, Kecamatan Mandolong, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, bergemuruh tepuk tangan saat Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (Damanas), Abdon Nababan, memperkenalkan Philipus Kami, anggota DPRD, Kabupaten Ende, NTT, Rabu (14/3/2018).

"Masyarakat adat punya demokrasinya tersendiri dalam menentukan wakil rakyatnya dengan cost politik yang murah, Rp 2,5 juta dihabiskan Philipus saat mencalonkan anggota dewan," sebut Abdon.

Ratusan pasang mata peserta Rakernas Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) kelima di ruangan itu tertuju kepada Philipus. Tampak santun dan sederhana, Philipus berdiri memperkenalkan diri.

Kepada Kompas.com seusai dialog yang bertemakan keterlibatan masyarakat adat dalam pemilu itu, Philipus bercerita dan berbagi tips bagaimana biaya murah yang ia keluarkan saat mencalonkan diri menjadi anggota DPRD.

"Menjadi anggota dewan sebenarnya tak pernah terbersit dalam pikiran saya. Saya hanya petani kecil di Masyarakat Adat Saga, Kabupaten Ende," ujar Philipus.

Baca juga: Menteri Desa: Ende Jadi Inspirasi Keberagaman di Indonesia

Saat itu tahun 1984, ia berusia 28 tahun. Di kampung tempat ia tinggal dan bertani terdapat 16 komunitas adat tersebar di 19 desa di Kecamatan Datu Soko, Ende.

Ketenangan masyarakat adat yang umumnya bertani kopi terusik saat pihak Taman Nasional Kelimutu bermaksud meluaskan wilayah ribuan hektar.

"Perluasan kawasan taman nasional menyebabkan ribuan petani terancam terusir dari perkebunan yang telah mereka kelola secara temurun," kisahnya.

Merasa kehidupannya dan masyarakatnya terancam diusir, Philipus bekerja bersama ribuan warga menolak rencana perluasan kawasan taman nasional.

"10 tahun bersama masyarakat berjuang menolak rencana perluasan, barulah pada 1993 tuntutan agar kebun kopi dan masyarakat adat tidak terusir dipenuhi pemerintah. Perjuangan panjang menyebabkan ada petani yang dipenjara, saya makin marah," kenangnya.

Baca juga: Kepatuhan Anggota DPRD dalam Laporkan LHKPN Masih Rendah

Permintaan masyarakat

Singkat cerita, tuntutan dipenuhi pemerintah. Lalu pada Pemilu 2004, ia diminta masyarakat adat dari 16 komunitas untuk menjadi anggota DPRD Ende.

"Saya menolak awalnya karena saya tidak punya uang. Namun, tanpa sepengetahuan saya, masyarakat kumpul uang lalu saya mencalonkan diri," jelasnya.

Semua kebutuhan kampanye disiapkan masyarakat adat. Ia sempat dicemooh politikus lokal yang menyebut Philipus miskin tak mempunyai uang maka tak mungkin menang.

"Saat itu saya cuma ada uang Rp 2,5 juta," ucapnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com