Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketela Rebus dan Kopi Hitam, Menu Favorit Mbah Satiyah Hingga Usia Ratusan Tahun

Kompas.com - 11/03/2018, 22:45 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Amir Sodikin

Tim Redaksi


Dianiaya Kompeni Ijo

Suami Satiyah, Mat Kahar sudah lama meninggal dunia sejak anak-anaknya masih kecil. Dari pernikahannya itu, dikaruniai enam anak, dua di antaranya sudah meninggal dunia. Satiyah sendiri mempunyai empat saudara kandung yang semuanya pun sudah tiada.

Disinggung berapakah umurnya, Mbah Satiyah pun menjawab tak mengerti. Namun, jelas diingatannya bahwa ia pernah melewati masa-masa suram saat penjajahan Belanda di Indonesia.

Mbah Satiyah pun berulang kali terlihat marah saat memori otaknya kembali diputar tentang kekejaman tentara Belanda. Mbah Satiyah menyebut serdadu belanda kala itu dengan istilah "Kompeni Ijo".

"Umurku piro aku rak ngerti. Sing rak iso lali, aku mbiyen tau digebuki Kompeni Ijo. Aku karo perawan-perawan sering ndelik ning sawah yen eneng Kompeni Ijo. Rak nduwe toto. Yen kecekel yo dianiaya. (Saya tak tahu berapa umurku. Tapi yang tak bisa kulupa, saya pernah dianiaya tentara Belanda. Saya dan perawan-perawan sering bersembunyi di sawah saat tentara Belanda datang. Tak punya aturan. Karena kalau tertangkap ya dianiaya)," katanya.

"Anak'e Kiai Khafiludin, aku yo kenal. Enak ki wong saiki rak eneng perang. Ayo podo rajin ibadah masing-masing. Ojo podo padu kabeh kuwi sedulur. (Anaknya Kiai Khafiludin, saya kenal. Enak itu orang sekarang, tidak ada perang. Beribadahlah yang rajin sesuai keyakinannya. Jangan saling menghujat, semua itu saudara)," lanjut Mbah Satiyah.


120 tahun tak pernah sakit

Anak kelima Satiyah, Sukayah (53), mengatakan, ibundanya tersebut melahirkan enam orang anak termasuk dirinya. Urutannya mulai dari Sumarti, Rebi, Jumadi, Kaswadi, Sukayah dan Kaswati.

Rebi dan Jumadi sudah meninggal dunia. Sementara cucu Mbah Satiyah berjumlah 20 orang dan cicitnya berjumlah 40 orang.

"Ibu itu dulu hamil tua. Anak pertamanya yang tinggal jauh, berusia sekitar 90 tahun. Kakak saya itu masih hidup tapi sakit-sakitan dan juga pikun. Umur ibu itu perkiraan kami sekitar 120-an tahun. Kami pernah berkumpul dan membahasnya. Namun di data kependudukan oleh kakak ditulis asal-asalan yang penting terdata. Ditulis lahir 1925. Karena kami memang orang kecil tak mau repot," kata Sukayah.

Menurut Sukayah, ibundanya itu tak pernah punya pantangan dalam mengonsumsi makanan ataupun minuman. Kesukaannya menyantap ketela rebus dan minum kopi hitam.

Hebatnya, meski sudah uzur, dalam urusan shalat dan mengaji, ibundanya itu selalu berusaha tidak mengabaikannya.

"Sekarang kalau mengaji sudah tidak terbaca, jadi hanya baca-baca ayat Al Quran. Kalau dengar adzan, langsung shalat. Shalat lima waktu tak mau telat, bahkan tahajud juga dijalani. Ibu itu selalu menasihati kami supaya rajin ibadah. Untuk makan tak pilih-pilih. Apapun di meja dimakan. Sukanya ketela rebus dan minum kopi. Alhamdulillah, ibu tidak pernah sakit. Sejak dulu memang ikut saya," terang Sukayah.

Kepala Dusun Nganggil, Marjuki, mengatakan, di data kependudukan, Mbah Satiyah tercatat lahir pada 10 Januari 1925.

Meski demikian, ia masih mempertanyakan keabsahannya, karena beberapa sesepuh desanya yang tercatat ikut berjuang melawan penjajah, mengakui jika Mbah Satiyah adalah senior. Mereka yang juga sudah lanjut usia itu memanggilnya dengan sebutan Mbah.

"Orang-orang di desa yang kelahiran 1925, memanggil Mbah Satiyah dengan sebutan Mbah. Kalau secara logika Mbah Satiyah itu jauh lebih tua. Ya, hanya Allah yang tahu, petik hikmahnya saja," pungkas Marjuki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com