GROBOGAN, KOMPAS.com - Guratan di wajah Mbah Satiyah mengisyaratkan begitu lamanya roda perputaran zaman yang telah dilampauinya. Rambutnya putih kusut tak lagi hitam. Sekujur kulitnya pun telah berkerut menyiratkan kian banyaknya ia makan asam garam kehidupan.
Mbah Satiyah asli Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ini diyakini oleh keluarganya berusia sekitar 120 tahun. Seperti orang tua yang lahir pada zaman dulu, tak ada bukti otentik untuk bisa membenarkan usia sesungguhnya Mbah Satiyah.
Penghitungan usia 120 tahun hanya berdasar perkiraan keluarga Mbah Satiyah dan berdasarkan kisah turun-temurun yang didukung orang tua lainnya di lingkungan Mbah Satiyah. Selama ini Mbah Satiyah tinggal di rumah anaknya yang kelima, Sukayah (53), di Dusun Nganggil, Desa Karanganyar, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan.
Meski sudah lanjut usia, Mbah Satiyah nampak begitu sehat. Makan dan minum ala kadarnya tanpa adanya pembatas.
Baca juga : Mbah Mun, Generasi Terakhir Perajin Payung Kertas
Berjalan kaki pun tidak harus merepotkan keluarganya walau acap kali memakai alat bantu tongkat. Keperluan lain seperti mandi dan buang air di kamar mandi juga ia lakoni sendiri. Bahkan terkadang, nenek renta ini mencuci pakaiannya sendiri.
Wajar jika di usianya yang sepuh ingatan Mbah Satiyah tak setajam dulu, namun saat diajak mengobrol ia masih fasih berbicara. Hanya saja, instingnya saat mendengar dan melihat sudah mulai berkurang.
Logat Jawa begitu kental terlontar dari bibirnya yang menua, karena memang Mbah Satiyah tak bisa berbahasa indonesia.
"Aku iki orak sekti, cuma tani, nanging ibadahku tekun orak tau telad opo meneh shalat tahajud. (Saya ini bukan orang sakti, hanya petani, tapi ibadahku rajin tak pernah terlambat, apalagi untuk shalat tahajud)," kata Mbah Satiyah saat ditemui Kompas.com, Minggu (11/3/2018).
Shalat dan mengaji
Dalam keseharian, Mbah Satiyah sudah tak lagi terjun ke sawah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Setidaknya, rutinitas itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil karena petuah bijak dari mendiang orangtuanya.
Konon cikal bakal desa itu erat hubungannya dengan sepak terjang ulama kesohor Kiai Kafiluddin. Beliau adalah tokoh agama Islam yang berjuang menyebarkan agama Islam di wilayah Pantura.
Kiai Kafiluddin kemudian membangun masjid di wilayah Desa Menduran pada tahun 1700-an. Masjid kuno yang sempat direnovasi itu saat ini masih berdiri kokoh. Sampai saat ini jamak masyarakat dari berbagai penjuru berziarah ke makam tokoh pejuang agama Islam itu di Desa Menduran.
Baca juga : Akhir Pencarian Mbah Wongso, Warga Suriname Keturunan Jawa
"Mbiyen pas cilik, yen lali shalat opo ngaji, mesti diciweli wong tuwoku. (Saat kecil, ketika lupa shalat dan mengaji, pasti dicubiti orangtuaku)," kata Mbah Satiyah.
"Pas wis gede nganti saiki, yen telad shalat opo ngaji, mesti yen turu aku diimpeni jin sing ngamuk karo aku. Makane aku emoh ninggalke. (Ketika remaja hingga saat ini, saat telat shalat dan mengaji, selalu saja bermimpi didatangi jin yang memarahi aku. Makanya saya tak mau meninggalkan ibadah," sambung Satiyah.