Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cethe dan Munculnya Lukisan dari Kopi

Kompas.com - 10/03/2018, 08:49 WIB
Andi Hartik,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Bagi sebagian orang, kopi adalah aroma kenikmatan. Bahkan, mereka tidak bisa lepas dari kopi saat menjalankan aktivitasnya.

Tidak demikian bagi Wirastho (39). Pria yang biasa disapa Sawir itu melihat kopi dari sisi yang berbeda. Baginya, kopi bukan hanya aroma kenikmatan yang bisa diminum. Ia bahkan menjadikan kopi sebagai bahan untuk mengeskpresikan kreatifitasnya.

Sejak Tahun 1999, lulusan Pendidikan Seni Rupa di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) sekarang Universitas Negeri Malang (UM) itu mulai membuat lukisan dari kopi.

"Munculnya lukisan kopi berawal dari tradisi cethe," katanya dalam pameran tunggalnya di Kota Malang, Jumat (9/3/2018).

Baca juga : Kopi Sumatra Paling Digemari di Seluruh Starbucks Dunia

Cethe adala bahasa Jawa, lebih tepatnya kata yang biasa digunakan oleh warga di Jawa Timur. Artinya, aktivitas menempelkan ampas kopi ke rokok untuk menambah kenikmatan.

Biasanya, chete dilakukan saat sedang menikmati kopi sambil merokok. Saat itu, untuk menambah kenikmatan rokok yang akan dihisapnya, batang rokok itu terlebih dahulu dioles dengan ampas kopi. Aktivitas semacam itu banyak ditemui di warung kopi saat banyak orang mengisi waktu senggang.

Awalnya, cethe yang dilakukan mereka hanya mengoleskan ampas kopi begitu saja ke batang rokok. Namun seiring berkembangnya kreatifitas, mereka mulai mengukir batang rokoknya dengan ampas kopi. Bukan hanya dioleskan begitu saja.

"Lingkungan orang - orang agraris seperti itu. Memiliki waktu kosong, biasanya menaruh ampas ke rokok," katanya.

Lukisan dari kopi karya Wirastho atau Sawir saat dipamerkan di Kota Malang, Jumat (9/3/2018)KOMPAS.com / Andi Hartik Lukisan dari kopi karya Wirastho atau Sawir saat dipamerkan di Kota Malang, Jumat (9/3/2018)

Berhenti merokok dan memulai di kanvas

Pada Tahun 1999, Sawir berhenti merokok karena penyakit liver yang hampir merenggut nyawanya. Sejak saat itu, ia kehilangan wadah untuk melukis melalui ampas kopi. Hingga akhirnya, pria yang bekerja sebagai guru tidak tetap itu melampiaskan hasratnya di atas kain kanvas.

"Tahun 1999 saya berhenti merokok, saya bingung akhirnya saya lampiaskan ke kertas," uangkapnya.

Hasilnya sangat bagus. Karakter warna yang dimunculkan terlihat lembut. Ada ciri khas tersendiri dibanding dengan lukisan dari cat air.

Tidak mudah melukis dari kopi. Sebab, kopi memiliki tingkat kekentalannya tersendiri. Jika dibiarkan terlalu lama, kopi akan menjadi padat. Namun jika terlalu banyak dikasih air, kopi akan mencair.

Baca juga : Mau Minum Kopi dengan Foto Wajah Sendiri, Bisa Coba di Kafe Ini

Hal itu yang membuat Sawir harus menjaga supaya kekentalan kopi tetap terjaga sembari melukis di atas kanvas.

"Kopi, kalau saya bilang keasikan. Begitu tingkat kekeringan sudah tiba, agak seret. Kalau banyak airnya dia tidak bisa kental. Melalui insting, bagaimana kita mensiasati memanfaatkan kopi itu sendiri," paparnya.

Meski sudah mulai melukis dari kopi, pria asal Dusun Santren, Desa Mangunrejo, Kepanjen, Kabupaten Malang itu baru fokus membuat lukisan pada Tahun 2012 setelah berhenti menjadi guru tidak tetap.

Ia juga sempat mendirikan Warung Kopi Cangkir Laras di Jalan Bogor Atas, Kota Malang. Untuk menghias warungnya, ia membuat lukisan dari kopi.

Lukisan dari kopi karya Wirastho atau Sawir saat dipamerkan di Kota Malang, Jumat (9/3/2018)KOMPAS.com / Andi Hartik Lukisan dari kopi karya Wirastho atau Sawir saat dipamerkan di Kota Malang, Jumat (9/3/2018)
Banyak diminati

Tak dinyana, banyak yang tertarik dengan hasil lukisan itu. Hingga akhirnya, lukisan - lukisan yang tertempel di warung itu laku terjual.

"Ada yang laku Rp 500.000, ada yang 1,5 juta, ada juga yang 7,5 juta," katanya.

Bahkan, warga Jerman dan Amerika Serikat yang kebetulan berkunjung ke Malang juga sempat membeli lukisan tersebut.

Biasanya, lukisan yang dibuatnya bertema kritik sosial. Hal itu karena aktivitasnya yang juga menampung anak-anak jalanan di rumahnya.

Tidak sekadar itu, ada satu lukisan dari 16 lukisan yang dipamerkannya yang memuat kritik tentang kondisi dunia politik di Indonesia. Lukisan itu menggambarkan tentang kondisi parlemen yang tidak lagi berpihak kepada rakyat. Namun rakyat yang tahu akan hal itu tidak bisa berbuat apa - apa. Lukisan itu baru selesai setelah satu tahun lebih.

"Tentang parlemen kita. Tradisi politik kita rakyat sebenarnya paham tapi tidak bisa apa - apa. Akhirnya jadi guyonan mereka," ungkapnya.

Hasil karyanya itu sudah pernah dipamerkan di sejumlah tempat. Salah satunya di Surabaya dan di Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com