Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernikahan ala Adat Bugis Makassar, Cinta Kandas gara-gara Uang Panaik Tinggi (1)

Kompas.com - 07/03/2018, 11:02 WIB
Hendra Cipto,
Farid Assifa

Tim Redaksi

MAKASSAR, KOMPAS.com - Akhir-akhir ini, banyak peristiwa menghebohkan di acara pesta perkawinan di Sulawesi Selatan. Pengantin pria maupun wanita tiba-tiba pingsan saat didatangi seorang tamu undangan, yakni mantan kekasihnya.

Misalnya di Kabupaten Wajo, pengantin pria pingsan saat dinyanyikan lagu oleh mantan pacarnya. Lalu di Luwu Timur, seorang pengantin wanita tak sadarkan diri di pelaminan setelah dipeluk mantan pacarnya.

Baca: Viral, Video Pengantin Wanita Pingsan usai Dipeluk Mantan Pacarnya dan Viral, Pengantin Pria Pingsan Seusai Peluk Mantan yang Nyanyi di Pernikahannya

Selain dua kisah itu yang videonya viral di media sosial, masih banyak kisah serupa lainnya yang mengharukan namun tidak menyebar di publik. Sebuah percintaan yang kandas karena salah satu adat Bugis Makassar, yakni "uang panaik".

Bagi pria yang tak memiliki banyak duit, uang panaik atau uang mahar adalah sebuah momok yang menakutkan saat hendak melamar kekasihnya. Sebab, uang panaik yang merupakan salah satu syarat untuk menggelar pernikahan sesuai adat Bugis Makassar ini bernilai sangat besar hingga mencapai miliaran rupiah.

Besaran uang panaik bagi perempuan ditentukan berdasarkan kelas sosial. Perempuan lulusan SMA, sarjana, telah bekerja, berstatus pegawai negeri sipil (PNS), berprofesi dokter, hingga yang sudah berhaji memiliki, masing-masing memiliki "harga" panaik yang berbeda.

Seorang budayawan, Prof Dr Nurhayati Rahman menjelaskan, sebenarnya uang panaik mempunyai nilai leluhur yang sangat baik. Budaya uang panaik sudah ada sejak zaman Raja Luwu I La Galigo. Waktu itu, Sawerigading menikahi We Cudai dengan uang panaik berupa uang, emas, bingkisan-bingkisan atau erang-erang sebanyak satu kapal penuh.

"Itulah sejarah singkatnya uang panaik sudah ada sejak zaman I La Galigo. Uang panaik bersangkut paut dengan harkat dan martabat seorang laki-laki, supaya dia bekerja keras," kata guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) ini saat dimintai tanggapannya, Rabu (7/3/2018).

Jadi, kata Nurhayati, uang panaik itu adalah sebuah motivasi atau pemicu bagi laki-laki agar bekerja keras lagi untuk menghidupi keluarga yang akan dibangun.

"Tapi sekarang anak muda, bukannya bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar bisa menikah, tetapi mereka kebanyakan menjual harta warisannya lalu menikah. Banyak yang sudah menikah jadi miskin karena sudah jual sawah dan warisannya yang lain," kata Nurhayati yang juga salah satu tokoh adat Bugis Makassar ini.

Baca juga : Air Mata Liza yang Ditinggal Calon Suami Sehari Sebelum Pernikahan

Simbol lain agar kaum laki-laki bekerja keras sebelum menikah, lanjut Nurhayati, adalah mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali. Dahulu seorang pria harus mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali jika ingin menikah. Tujuh kali mengelilingi dapur adalah simbol kemampuan seorang laki-laki memenuhi kebutuhan dapur selama 7 hari untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.

Komersialisasi uang panaik

Nurhayati menyayangkan tradisi uang panaik kini dikomersialisasikan. Apalagi, besaran uang panaik tergantung dari strata seorang wanita, misalnya lulusan SMA, sarjana, PNS, dokter, atau telah berhaji, dan lainnya. Strata itulah yang membedakan besaran uang panaiknya. Berbeda lagi jika sang wanita keturunan bangsawan.

"Kenapa ada seperti itu. Berbeda zaman dulu dengan sekarang. Semua tradisi sudah terkikis, semuanya dinilai dengan materi. Bukan nilai luhurnya yang diambil dari tradisi uang panaik itu. Kini pesta perkawinan sebagai ajang gengsi," katanya.

"Di zaman dulu, ada istilah Sulapa Appa Wala Suji. Maksudnya utara, selatan, timur, dan barat. Artinya simbol dari laki-laki, yakni kekayaan, cerdik atau pandai, kekuasaan, dan keberanian. Harus ini, salah satunya dimiliki oleh seorang laki-laki, karena kalau tidak memiliki salah satu sudut ini dianggap sampah," lanjutnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com