Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (1)

Kompas.com - 02/03/2018, 12:38 WIB
Taufiqurrahman,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Ratusan wayang kulit dengan wajah tokoh yang berbeda-beda dibiarkan tersimpan dalam empat kotak kayu berwarna hitam berukuran kurang lebih panjang 3 meter di rumah Kosala Mahinda di Dusun Candi Utara, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Wayang-wayang itu jarang tersentuh karena tak ada pementasan. Hanya abu tebal menyelimuti tubuh kotak itu.

Ada beberapa buah wayang yang ditempatkan berbeda. Bahkan terbilang khusus dalam kotak-kotak kecil.

Wayang itu istimewa karena usianya sudah ratusan tahun. Tidak sembarangan menggunakan wayang itu. Bahkan diperlihatkan wujudnya saja, pemiliknya enggan.

(Baca juga: Sang Pelestari Wayang Kancil Itu Kini Telah Tiada)

Wayang istimewa itu hanya digunakan dalam pementasan istimewa pula. Wayang itu disebut pernah dikeluarkan pada saat pementasan di Keraton Yogyakarta.

"Wayang yang usianya ratusan tahun itu pernah saya tampilkan di hadapan Pangeran Hamengkubowono Yogyakarta. Luar biasa sambutan dulu di keraton," ungkap Kosala saat ditemui, Rabu (28/2/2018).

Untuk pementasan yang lain, Kosala hanya mengeluarkan wayang-wayang biasa, seperti saat latihan atau pementasan di Madura.

Pria yang juga penjaga Vihara Avalokitesvara ini menilai kondisi dunia wayang di Madura sudah memprihatinkan.

Selain karena jarang ada pementasan, generasi pewayang atau dalang yang bisa berbahasa Madura, sudah tidak ada penerusnya lagi. Kosala sendiri hanya gemar mengoleksi ratusan tokoh wayang. Selebihnya, orang lain yang memainkannya.

"Dalangnya sudah tua semua. Pemain musik gamelan pengiring wayang, juga sudah banyak yang tua," ujarnya.

Seingat Kosala, pementasan wayang Madura terakhir kali pada tahun 2010 silam di saat pagelaran budaya bertajuk Semalam di Madura. Saat itu, grup wayang satu-satunya di Madura itu banyak ditonton masyarakat Madura. Bahkan wisatawan mancanegara juga ikut menonton. Banyak orang heran karena ada pentas wayang berbahasa Madura.

"Ternyata di Madura ada wayang juga. Ini pertama saya melihatnya," tutur Kosala menirukan ucapan salah satu penonton waktu itu.

Semenjak itu, tak pernah ada lagi pementasan wayang di Madura.

Agar pewayangan tidak sirna, Kosala dan semua anggota kelompoknya, sekali-kali latihan di dalam komplek vihara.

(Baca juga: "Enggak Nyangka Pak Jokowi Mau Datang ke Pernikahan Anak Saya...")

Untuk memancing minat masyarakat Madura mencintai wayang berbahasa Madura, Kosala pernah menelurkan ide besar pada tahun 2009.

Dia membuat pementasan wayang semalam suntuk yang dihadiri dalang dan sinden dari sepuluh negara, antara lain berasal dari Jepang, Belanda, Argentina, Skotlandia, Hongaria, Inggris, Afrika, Indonesia, China dan Slovakia. Pementasan ini tercatat dalam rekor MURI.Yang menonton, juga banyak turis manca negara.

Namun pasca-kegiatan itu, geliat pewayangan tidak juga membaik. Kosala menilai, kondisi tersebut terjadi karena tidak ada dorongan dari semua pihak untuk mengenalkan wayang kepada generasi muda di lembaga pendidikan.

Tidak seperti di daerah lain di Jawa. Anak-anak usia sekolah dasar sudah dikenalkan dengan kebudayaan, termasuk kesenian wayang.

"Di Pamekasan, tidak pernah ada pengenalan sejarah dan budaya wayang. Padahal usia wayang di Pamekasan sudah ratusan tahun," ungkap Kosala.

Beratnya jadi dalang

Ki Sudirman, salah satu dalang berbahasa Madura, menuturkan, warisan leluhur wayang Madura sudah ditinggalkan generasi muda. Pengaruh perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebabnya.

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada tahun 80-an. Pementasan wayang bisa lima malam berturut-turut. Bahkan Ki Sudirman sampai bermalam di lokasi pementasan.

"Sekarang sudah tak ada lagi pementasan. Generasi saat ini lebih senang main game di gadget daripada nonton pentas wayang kulit," kilahnya.

Akibatnya, Ki Sudirman mulai berpaling dari dunia wayang untuk menghidupi keluarganya dan biaya pendidikan anaknya. Hidup menjadi dalang di era sekarang cukup berat.

"Cukup saya yang mengalami beratnya jadi dalang di Madura. Orang lain tidak akan kuat," ungkap pria yang kini bekerja di salah satu bank daerah.

BERSAMBUNG: Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (2)

 

Kompas TV Keterbatasan fisik tidak menghambat seorang penyandang disabilitas di kota Malang Jawa Timur untuk berkarya. Bahkan kini sudah dipasarkan hingga ke luar kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com