Dia membuat pementasan wayang semalam suntuk yang dihadiri dalang dan sinden dari sepuluh negara, antara lain berasal dari Jepang, Belanda, Argentina, Skotlandia, Hongaria, Inggris, Afrika, Indonesia, China dan Slovakia. Pementasan ini tercatat dalam rekor MURI.Yang menonton, juga banyak turis manca negara.
Namun pasca-kegiatan itu, geliat pewayangan tidak juga membaik. Kosala menilai, kondisi tersebut terjadi karena tidak ada dorongan dari semua pihak untuk mengenalkan wayang kepada generasi muda di lembaga pendidikan.
Tidak seperti di daerah lain di Jawa. Anak-anak usia sekolah dasar sudah dikenalkan dengan kebudayaan, termasuk kesenian wayang.
"Di Pamekasan, tidak pernah ada pengenalan sejarah dan budaya wayang. Padahal usia wayang di Pamekasan sudah ratusan tahun," ungkap Kosala.
Beratnya jadi dalang
Ki Sudirman, salah satu dalang berbahasa Madura, menuturkan, warisan leluhur wayang Madura sudah ditinggalkan generasi muda. Pengaruh perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebabnya.
Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada tahun 80-an. Pementasan wayang bisa lima malam berturut-turut. Bahkan Ki Sudirman sampai bermalam di lokasi pementasan.
"Sekarang sudah tak ada lagi pementasan. Generasi saat ini lebih senang main game di gadget daripada nonton pentas wayang kulit," kilahnya.
Akibatnya, Ki Sudirman mulai berpaling dari dunia wayang untuk menghidupi keluarganya dan biaya pendidikan anaknya. Hidup menjadi dalang di era sekarang cukup berat.
"Cukup saya yang mengalami beratnya jadi dalang di Madura. Orang lain tidak akan kuat," ungkap pria yang kini bekerja di salah satu bank daerah.
BERSAMBUNG: Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (2)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.