Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Daging Anjing di Medan, dari Pasar hingga Piring Makan (2)

Kompas.com - 22/02/2018, 14:59 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

Olahan daging anjing

Di tempat terpisah, Sinulingga, pemilik RM Sinulingga, ramah menyambut tamu yang datang. Rumah makan yang hanya menyediakan menu daging anjing ini berada di Jalan Ngumban Surbakti, Medan.

Sinulingga mengangguk saat ditanyakan bahwa banyak orang menilai racikan menu daging anjing ala Batak lebih diminati ketimbang dengan bumbu Karo. Alasan dia, orang Batak memiliki lebih banyak variasi olahan daging anjing.

Menu daging anjing ala Karo yang paling terkenal adalah kidu-kidu, tanggo-tanggo (daging dengan potongan besar-besar), panggang B1, lomok-lomok (atau saksang), dan sop.

Kidu-kidu adalah daging anjing yang dicincang halus, diberi bumbu, kemudian dimasukkan ke dalam usus, mirip sosis. Paling banyak disukai adalah kidu-kidu dan panggang.

“Buat kidu-kidu itu yang susah buatnya, harus potong tiga ekor anjing biar dapat lemak-lemaknya,” ungkapnya.

Sinulingga, pemilik RM Sinulingga, salah satu rumah makan yang menjual menu daging anjing di Kota Medan, Sumatera Utara.KOMPAS.com/Mei Leandha Sinulingga, pemilik RM Sinulingga, salah satu rumah makan yang menjual menu daging anjing di Kota Medan, Sumatera Utara.
Sinulingga mengatakan, satu ekor anjing biasanya memiliki berat 5-8 kilogram. Kalau sudah dibersihkan dan dipotong-potong, daging utuhnya cuma 2 kilogram.

Anjing itu lebih banyak tulangnya. Terus, jumlah anjing yang dijual terbatas. Kalau kami potong pagi dan kurang, tak bisa lagi kami nambah daging. Kalau babi, masih banyak di pasaran,” katanya.

Di warungnya, semua menu B1 harganya Rp 20.000 per porsi berikut daun ubi dan pepaya rebus. Harga itu di luar harga nasi.

Minum penyertanya biasanya nira dan Badak, minuman bersoda rasa sarsaparila yang diproduksi pabrik asal Siantar. Ayah dua anak ini membuka warungnya mulai pukul 10.00 sampai sore.

Saat ini, setiap hari Aritonang memotong satu ekor anjing, jauh berkurang saat usahanya berdiri tiga tahun lalu. Saat itu, setiap hari dia paling sedikit memotong dua atau tiga ekor anjing. Kalau tidak membeli anjing yang dijual langsung pemiliknya, dia membeli ke pasar.

“Harga daging anjing juga naik turun, kalau lagi kosong, bisa Rp 55.000 per kilogram. Kadang, kalau orang pesan sama aku, Rp 70.000 juga kujual. Namun, jika harga daging sedang mahal, harga tiap porsi tidak akan naik, untung sedikitlah,” ucap pria bertubuh gempal ini.

Menurut warga kompleks Setia Budi Raya, Tanjung Sari, Kota Medan, ini, semua bagian tubuh anjing bisa dimakan, kecuali gigi dan kotorannya.

(Baca juga: Dalam Sehari, 1.200 Anjing Dikonsumsi di Kota Solo)

Menu B1 yang tersedia di warungnya juga tidak berbeda dengan warung-warung lain. Soal daging anjing, dia memilih anjing yang muda untuk dipanggang agar mudah dikunyah. Tak peduli ukurannya besar atau kecil. Syaratnya, biasanya anjing berusia 6-10 bulan, bebas rabies, dan jenis anjing lokal atau kampung saja.

“Saya bilang sama penjualnya, kasih yang bagus, jangan yang rabies. Daging anjing muda lebih berlemak dan manis. Anjing yang umurnya setahun lebih sudah keras dagingnya, sudah gak enak,” ujar dia.

Setiap hari, satu ekor daging anjing habis terjual. Namun, dia lagi berpikir untuk kembali menjual menu daging babi seperti yang pernah dilakukannya sejak 1994 sampai 2013 di Simpang Pencawan, Padang Bulan, Medan.

Tidak tega

Sinulingga mengatakan, meski lebih untung membeli anjing hidup dan memotongnya sendiri, saat ini Sinulingga lebih sering membeli saja ke pasar. Dia mengaku kasihan dan tidak tega saat hendak memotongnya.

Dia bercerita, pernah membeli seekor anjing yang akan dipotongnya keesokan harinya. Sehari sebelumnya, anjing tersebut terus bergelayut di kakinya seakan minta dikasihani.

“Mata anjing itu mata minta dikasihani. Makanya kalau mau kita potong, ditutup kepalanya pakai karung biar engak nampak kita,” katanya.

Soal mitos bahwa anjing selalu menggonggong orang-orang yang mengonsumsi daging anjing, Sinulingga percaya.

“Betul itu, aku begitu. Aku lewat saja digonggong anjing. Kadang didekatinya kita, terus menjauh dia sambil mengonggong, tidak digigitnya. Apalagi tukang jagal anjing, dikejar. Mungkin bau keringat kita terasa sama anjing itu,” ungkap Sinulingga.


BERSAMBUNG: Perjalanan Daging Anjing di Medan, dari Pasar sampai Piring Makan (3)

 

Kompas TV Pemasukan negara dari sektor pariwisata terancam berkurang setelah muncul kasus konsumsi daging anjing di Bali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com