Tiga perempuan dengan rahang tegas duduk di antara anjing-anjing itu. Tak jauh dari mereka, ada timbangan duduk berkapasitas 100 kilogram.
Para pria yang terlihat di situ sibuk menimbang dan mengikat anjing-anjing yang terus menggonggong dan meronta.
Beberapa anjing terkulai lemas, matanya setengah tertutup.
Seekor anjing berwarna coklat terus berupaya menyalak meski mulutnya terikat tali plastik. Saat kepalanya dielus, salakan yang lebih mirip erangan itu pun berhenti sejenak.
Bibi penjual memperhatikan dengan tatapan curiga.
"Haus dia kali, enggak dikasi minum, Bi?"
"Dikasihnya minum, nantilah," ucap bibi pedagang itu.
"Berapa harganya ini?"
"Rp 40.000 sekilo. Baik ini, tetapi sudah enggak enak dimakan. Sudah 2,5 tahun umurnya. Bagusnya untuk jaga kebun saja, tetapi kalau mau dimakan, ya, bisa juga," katanya.
(Baca juga: Penjual Lapo Tak Tahu Asal-usul dan Kesehatan Daging Anjing )
Ketika ditanya apakah mereka menjual anak anjing untuk dimakan, tiga perempuan itu menggeleng. Salah satu dari mereka lalu mengatakan, mereka menerima semua jenis anjing, berbagai ukuran, tetapi tidak bayi anjing.
Seekor anjing berumur 4 sampai 10 bulan dengan kondisi mulus dan baik, lanjut pedagang itu, adalah yang paling layak untuk dimakan.
Biasanya, di tempat itu, setiap ekor anjing layak makan ini dibanderol dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per ekor.
Harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan anjing yang berumur lebih dari setahun atau induk yang sudah beberapa kali melahirkan. Anjing jenis ini hanya dihargai mulai dari Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per kilogram.
Sang penjual lalu bercerita, mereka menerima pasokan barang dagangan dari berbagai orang, baik pengepul maupun orang per orang yang mau menjual anjingnya. Kebanyakan anjing yang mereka dapat berasal dari kawasan Kota Medan.
"Anjing-anjing ini dari Medan, mau dibawa ke gunung (kampung). Ini tinggal nunggu diangkut. Sebentar lagi datang mobilnya," kata pedagang berbaju merah sambil menunjuk tumpukan anjing-anjing yang pasrah.
Tiba-tiba seekor anjing berbulu putih yang bulu-bulunya basah seperti baru tersiram air menyita perhatian mereka. Kaki, tangan, dan mulutnya sudah terikat.
Namun, anjing itu terlihat garang dan sangat marah saat tubuhnya diletakkan di atas timbangan. Matanya merah dan dia terus menggonggong dan menggeram.
"Itu anjing rabies, kan? Matanya merah dan garang kali,"
"Enggaklah, kami enggak jual anjing rabies. Kalau dijual, habislah kami semua digigit. Siapa yang mau megang anjing rabies," jawab salah satu bibi pedagang.
Lalu, dia menuturkan, setiap hari mereka berjualan anjing, tetapi tidak setiap hari pula ada anjing yang terjual. Sementara itu, pada Sabtu, menurut dia, para pengepul anjing berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjual anjing lagi kepada mereka.
Selama ini, lanjut bibi penjual, kebanyakan pembelinya adalah pemilik rumah makan dan lapo tuak (kedai penjual makanan khas Batak) yang menyediakan menu dan tambul daging anjing atau yang biasa disebut biang atau B1 di Sumatera Utara.
Dia lalu menegaskan bahwa anjing-anjing itu selalu dijualnya dalam keadaan hidup. Kalau dalam perjalanan ke pasar ada anjing yang mati, bangkainya dibuang karena tidak laku lagi.
"Kalau mati dibuang, kami enggak jual bangkai anjing, harus hidup," ucapnya.
Bersambung ke halaman 3