Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Daging Anjing di Medan, dari Pasar hingga Piring Makan (1)

Kompas.com - 22/02/2018, 09:12 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

Tiga perempuan dengan rahang tegas duduk di antara anjing-anjing itu. Tak jauh dari mereka, ada timbangan duduk berkapasitas 100 kilogram.

Para pria yang terlihat di situ sibuk menimbang dan mengikat anjing-anjing yang terus menggonggong dan meronta.

Beberapa anjing terkulai lemas, matanya setengah tertutup.

Seekor anjing berwarna coklat terus berupaya menyalak meski mulutnya terikat tali plastik. Saat kepalanya dielus, salakan yang lebih mirip erangan itu pun berhenti sejenak.

Bibi penjual memperhatikan dengan tatapan curiga.

"Haus dia kali, enggak dikasi minum, Bi?"

"Dikasihnya minum, nantilah," ucap bibi pedagang itu.

"Berapa harganya ini?"

"Rp 40.000 sekilo. Baik ini, tetapi sudah enggak enak dimakan. Sudah 2,5 tahun umurnya. Bagusnya untuk jaga kebun saja, tetapi kalau mau dimakan, ya, bisa juga," katanya.

(Baca juga: Penjual Lapo Tak Tahu Asal-usul dan Kesehatan Daging Anjing )

Ketika ditanya apakah mereka menjual anak anjing untuk dimakan, tiga perempuan itu menggeleng. Salah satu dari mereka lalu mengatakan, mereka menerima semua jenis anjing, berbagai ukuran, tetapi tidak bayi anjing.

Seekor anjing berumur 4 sampai 10 bulan dengan kondisi mulus dan baik, lanjut pedagang itu, adalah yang paling layak untuk dimakan.

Biasanya, di tempat itu, setiap ekor anjing layak makan ini dibanderol dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per ekor.

Harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan anjing yang berumur lebih dari setahun atau induk yang sudah beberapa kali melahirkan. Anjing jenis ini hanya dihargai mulai dari Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per kilogram.

Sang penjual lalu bercerita, mereka menerima pasokan barang dagangan dari berbagai orang, baik pengepul maupun orang per orang yang mau menjual anjingnya. Kebanyakan anjing yang mereka dapat berasal dari kawasan Kota Medan.

"Anjing-anjing ini dari Medan, mau dibawa ke gunung (kampung). Ini tinggal nunggu diangkut. Sebentar lagi datang mobilnya," kata pedagang berbaju merah sambil menunjuk tumpukan anjing-anjing yang pasrah.

Tiba-tiba seekor anjing berbulu putih yang bulu-bulunya basah seperti baru tersiram air menyita perhatian mereka. Kaki, tangan, dan mulutnya sudah terikat.

Namun, anjing itu terlihat garang dan sangat marah saat tubuhnya diletakkan di atas timbangan. Matanya merah dan dia terus menggonggong dan menggeram.

"Itu anjing rabies, kan? Matanya merah dan garang kali,"

"Enggaklah, kami enggak jual anjing rabies. Kalau dijual, habislah kami semua digigit. Siapa yang mau megang anjing rabies," jawab salah satu bibi pedagang.

Lalu, dia menuturkan, setiap hari mereka berjualan anjing, tetapi tidak setiap hari pula ada anjing yang terjual. Sementara itu, pada Sabtu, menurut dia, para pengepul anjing berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjual anjing lagi kepada mereka.

Selama ini, lanjut bibi penjual, kebanyakan pembelinya adalah pemilik rumah makan dan lapo tuak (kedai penjual makanan khas Batak) yang menyediakan menu dan tambul daging anjing atau yang biasa disebut biang atau B1 di Sumatera Utara.

Dia lalu menegaskan bahwa anjing-anjing itu selalu dijualnya dalam keadaan hidup. Kalau dalam perjalanan ke pasar ada anjing yang mati, bangkainya dibuang karena tidak laku lagi.

"Kalau mati dibuang, kami enggak jual bangkai anjing, harus hidup," ucapnya.

Bersambung ke halaman 3

 

Halaman:


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com