Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Hasil Riset 10 Tahun Mentok di Meja Penelitian...

Kompas.com - 22/02/2018, 08:34 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir,
Reni Susanti

Tim Redaksi

UNGARAN, KOMPAS.com - Ubi jalar ungu atau Ipomoea batatas var ayumurasaki, ternyata berkhasiat untuk mengendalikan tekanan darah tinggi dan gula darah.

Keunggulan ubi ungu yang sudah diteliti dan terpublikasi adalah zat antioksidan dari pigmen warna ungunya tersebut. Hal itu bermanfaat sebagai antioksidan karena dapat menyerap polusi udara, racun, dan oksidasi dalam tubuh.

Namun penelitian yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali, menemukan kandungan lain dalam ubi jalar. Yaitu mampu mengendalikan tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kadar gula darah.

Prof I Made Jawi dari program pendidikan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana mengatakan, timnya berhasil mengekstrak ubi jalar ungu.

 

(Baca juga : Ubi Ungu, Pangan Lokal Kaya Antioksidan)

Penelitian yang sudah sampai pada kesimpulan ini terpaksa berhenti dan tidak bisa dilanjutkan ke produksi massal lantaran keterbatasan yang dimiliki. Salah satunya adalah kelengkapan laboratorium.

"Kami meneliti ubi ungu ini sudah 10 tahun. Karena berbagai keterbatasan, maka riset ini sudah mentok dan tidak bisa diproduksi secara massal. Secara scientifik kami bisa mempertanggungjawabkan hasil riset itu," kata I Made Jawi, Rabu (21/2/2018) siang.

Menurut Jawi, dipilihnya ubi jalar ungu sebagai obyek penelitian, karena tanaman ini mudah tumbuh di mana-mana. Di Bali misalnya, ubi ungu ini banyak ditanam petani.

Karenanya, jika ekstrak ubi ungu ini berhasil diproduksi massal, masyarakat bisa mendapatkan manfaat ubi ungu dengan mudah dan murah.

Apalagi hipertensi merupakan kondisi berbahaya yang patut diwaspadai. Sebab hipertensi bisa memicu penyakit lainnya, seperti diabetes, gagal jantung, hingga stroke.

"Jadi temuan kami ini menunjukkan bahwa ubi ungu mampu mengendalikan tekanan darah tinggi dan kadar gula darah. Tentu akan sangat bermanfaat apabila bisa diproduksi massal," kata Jawi.

(Baca juga : Penelitian di Kampus Jadi Kunci agar Indonesia Bisa Melesat )

Ia mengungkapkan, agar hasil riset tidak berhenti menjadi tumpukan kertas di meja penelitian, ia dan enam peneliti Universitas Udayana sengaja mendatangi pabrik jamu dan farmasi Sido Muncul di Ungaran, Kabupaten Semarang.

Selain membicarakan kerja sama, pihaknya ingin melihat proses produksi jamu dari bahan mentah hingga menjadi produk yang siap jual.

"Kami terus terang kagum, ternyata limbahnya juga diolah menjadi pupuk yang bernilai ekonomis," ucapnya.

Gayung pun bersambut. Direktur PT Sido Muncul Irwan Hidayat bersedia mengakomodir tawaran dari para peneliti Universitas Udayana ini.

Ia menyebutkan, Indonesia sangat butuh penelitian-penelitian yang berbasis pada kearifan masyarakat, seperti yang dilakukan para peneliti dari Universitas Udayana ini.

Namun untuk menjadi obat fitofarmaka, maka produk-produk herbal Indonesia harus melalui serangkaian riset.

"Jadi ada dua calon produk yang kita kerjasamakan. Pertama jamu kencing manis dan yang kedua adalah ekstrak ubi ungu ini. Khusus yang ubi ungu ini, kita akan lakukan uji toksifitas. Kalau lolos, uji khasiat lagi baru kita produksi massal," tutur Irwan.

Irwan menambahkan, dari hasil pertemuan tersebut, produk akhir yang paling memungkinkan dari ekstrak ubi ungu ini adalah dalam bentuk tablet atau kapsul.

"Setelah uji klinis, dicari dosisnya dan kita uji khasiat, sebelum diproduksi massal," imbuhnya.

Kompas TV Dari penelitian Kementerian KKP, penggunaan cantrang menyapu dasar perairan dan merusak ekosistem laut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com