Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawir Aziz
Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Penulis Sejumlah Buku

Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, menulis buku Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan (Kompas, 2020) dan Melawan Antisemitisme (forthcoming, 2020).

Memutus Mata Rantai Kekerasan

Kompas.com - 13/02/2018, 20:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


AKSI
penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yoyakarta, pada Minggu (11/2/2018), menjadi catatan memilukan dari wilayah ini. Pada pagi yang khusyuk, di tengah proses ibadat di gereja ini, seorang lelaki dengan senjata tajam masuk ke selasar lalu melakukan serangan membabi buta.

Suliyono (23 tahun), lelaki itu, seolah kalap mengayun-ayunkan pedang ke arah pastor dan jemaat. Ia menyerang secara garang dan melawan aparat keamanan, sebelum akhirnya dilumpuhkan. Empat orang terluka, mulai dari jemaat, pastor, hingga aparat kepolisian.

Meski dianggap sebagai lonewolf terrorism atau teror oleh pelaku tunggal yang tidak terafiliasi dengan kelompok teror mana pun, aksi ini membuka tabir gelap betapa kekerasan telah menjadi titik penting untuk memahami Indonesia kini.

Serangan-serangan teror saat ini seolah menarget pemuka agama sebagai korban. Belum lama berselang, Sabtu (27/1/2018), seorang kiai di Cicalengka, Jawa Barat, dibacok "orang gila". Lalu, pada Rabu (7/2/2018), seorang biksu di Kabupaten Tangerang, Banten, juga dipersekusi.

(Baca juga: Kisah Heroik Aiptu Munir Lumpuhkan Penyerang Gereja Santa Lidwina Bedog)

Sebelumnya, catatan aksi teror di Yogyakarta sering terdengar sebagai entakan kekerasan. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri, misalnya, pernah menangkap terduga terorisme di wilayah ini.

Pada 25 Agustus 2015, Agus Ari ditangkap Densus 88. Berikutnya, pada 7 Juni 2017, seorang warga Gunung Kidul, Yogyakarta, diamankan Densus 88 karena dianggap sebagai pemberi dana ke jaringan ISIS di Marawi, Filipina.

Kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat ingatan saya melayang ke masa silam. Selama beberapa tahun saya bermukim di wilayah ini untuk belajar di sebuah perguruan tinggi dan ngaji di Pesantren Krapyak.

Waktu itu, rasanya ketenteraman dan suasana tenang adalah bagian dari keseharian. Hidup terasa seimbang, antara kampus dan pesantren, antara suasana akademis dan ngopi di angkringan. Yogyakarta dalam ingatan adalah tempat yang tenteram dan penuh kenangan.

Namun, Yogyakarta juga membuat saya tersentak ketika terjadi aksi penyerangan terhadap sebuah lembaga diskusi. Pada 9 Mei 2012, sekelompok orang mengobrak-abrik lokasi diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji.

Darinya, saya jadi ingat betul, betapa kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol agama telah menjadi teror untuk menurunkan nilai-nilai toleransi di Yogyakarta. Betapa, wilayah yang sebelumnya terasa tenang dan damai ternyata menyimpan bara kekerasan.

Indeks toleransi  

Melihat kota-kota di Indonesia dalam indeks toleransi seolah berhadapan dengan peta untuk memahami kekerasan sekaligus kedamaian dalam ruang publik. Pada akhir 2017, Setara Institute merilis kajian dan Indeks Kota Toleran di Indonesia.

Indeks tersebut menelaah 94 kota di Indonesia untuk diperingkat dalam isu promosi dan praktik toleransi. Tujuannya, mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun serta mengembangkan toleransi di beberapa wilayah.

Dari laporan tersebut, muncul 10 kota dengan skor toleransi yang tinggi, yakni Manado (5,90), Pematangsiantar (5,90), Salatiga (5,90), Singkawang (5,90), dan Kota Tual (5,90). Kota dengan indeks tinggi selanjutnya adalah Binjai (5,80), Kotamobagu (5,80), Palu (5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72).

(Baca juga: Salatiga Berpredikat Kota Paling Toleran Se-Indonesia, Wali Kota Ucapkan Terima Kasih ke Para Guru)

Sebaliknya, ada sejumlah kota yang masuk kategori indeks toleransi rendah. Di antara kota-kota ini (wilayah Provinsi) DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh (2,90), Kota Bogor (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com