Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Kampoong Art Attack: Seni untuk Warga Kampung Besar Jakarta

Kompas.com - 13/02/2018, 09:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berupaya membangun kepercayaan individu sekaligus komunal dengan masyarakat kampung. Mencoba membangun empati dengan kreativitas.

Berkaca pada seni kontemporer global; yang berhutang pada ekspresi seni tradisi dan lokalitas, yang menekankan keterhubungan, gotong-royong, dalam bentuknya sebagai seni, desain dan arsitektur yang bertumpu pada akar-akar arus bawah di masyarakat, berharap bisa merefleksikan dan menangkap ruh keseharian masyarakat kelas menengah-bawah.

Tanpa meninggalkan modal kultural, seni kontemporer yang berdimensi sosial ini telah diterapkan di beberapa negara serta berperan membuat transformasi pada masyarakat setempat pada masanya.

Di lokasi-lokasi urban village atau bahkan pusat kota pun taman-taman kota selalu tersedia. Seperti proyek seni instalasi di Tahiti dengan tajuk Ghetto Biennale, proyek-proyek seni fotografi oleh seniman street art  JR di Tunisia, proyek seni instalasi dan arsitektur di distrik Dharavi, India, dan proyek arsitektur dan mural di wilayah slum, di distrik Favela, di Rio de Janeiro, Brazil.

Atau, kerja militan seniman Banksy dari Inggris di tembok pemisah negara Palestina-Israel di Ramallah di Tepi Barat sampai kota modern seperti Dresden di Jerman yang direspons oleh sekumpulan aktivis cum seniman yang melakukan kerja-kerja seni propaganda dan performans untuk perdamaian.

Pada 2012-2013, kembali ke topik seni dan komunitas di kampung-kamung Jakarta dan sekitarnya, komunitas JAM melakukan pembentukan sekolah seni infomal di kampung yang penuh konflik horisontal (tawuran) di Johar Baru, di Jakarta Pusat.

Tak ada itikad untuk mengakhiri konflik dengan akar-akar politis yang dibawa sejak sejarah ratusan tahun lalu di kompleks di area ini, JAM hanya menawarkan sebuah wacana seni berparas sosial, melalui proses pendidikan yang menjadi alat bernegosiasi mereduksi kekerasan.

JAM mencuri waktu-waktu mereka yang kebanyakan pengangguran, buruh kecil, atau pun mereka yang putus sekolah dan harus mencari nafkah, untuk belajar seni tari dan street art.

Dengan demikian, mereka melupakan sejenak atmosfir kekerasan di tempat tersebut. Mereka, warga kampung, sebagian besar remaja dan awal usia 20-an, terpikat dan bergabung, sejumlah 50-an pemuda.

Belajar bersama di kelas-kelas informal di balai warga setempat menjadikan mereka sadar akan tubuh mereka sendiri, kelenturan dan keterampilan raganya yang memiliki bakat menari, serta kemampuan menjajal berbagai keterampilan memproduksi karya stencil art dan graffiti.

Bersama sejumlah orang dari tim peneliti Universitas Indonesia Laboratorium Sosiologi bekerja bareng membuat kerja-kerja seni sebagai produk kebudayaan yang tidak terkungkung pada objek dalam penciptaan karya. Tapi, masyarakatlah yang menjadi subjek sekaligus objek utama, tak lagi hanya seniman.

JAM beralih ke Kota Tangerang pada 2014, dengan proyek seni dengan tema Tembok Belajar yang mengaplikasikan ekspresi street art dengan mengadopsi konsep standar dinding pengajaran.

Standar pembelajaran ini sering dipakai untuk materi mengajar sekolah di tingkat dasar atau primary grade.

Tembok-tembok warga di kampoong Babakan, Tangerang dilabur dengan karya-karya dari seniman street art berupa gambar-gambar atau angka, buah dan binatang jenaka yang memudahkan berhitung, membaca, dan pengenalan berbahasa Inggeris dasar pada anak-anak.

Karya-karya di tembok warga ini, mengingatkan, menghubungkan anak dengan lingkungan sekitar dan sensivitas syaraf motorik kebermainan mereka. Dengan kreativitasnya, para seniman saling bertemu orang tua warga, menjajal kemungkinan ingatan masa–masa kecil mereka membuat permainan sederhana dan mendiskusikannya secara berkala.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com