Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Penyandang Tunanetra Melukis di Atas Kanvas...

Kompas.com - 09/02/2018, 22:40 WIB
Agie Permadi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Meski tak dapat melihat sejak kecil, namun Elda Fahmi Nur Taufik (18) mencoba untuk merepresentasikan warna melalui pengalaman hidupnya.

Baginya, hidup adalah sebuah perjalanan untuk mencapai satu tujuan. Warna dalam hidup itu sendiri adalah rasa, seperti kebahagiaan, kesedihan, kegalauan, keberhasilan, eforia, kepuasan dan rasa lainnya yang pernah dirasakan dan dialaminya.

Semua rasa itu ia tumpahkan di atas kanvas putih berukuran A3. Tangan kanannya tampak memegang kuas, sedang tangan kiri meraba kanvas.

Elda tampak hati-hati memulas lingkaran dengan warna kuning. Indra perabanya bermain, merasakan dinginnya cat hasil sapuan kuasnya itu. Kuas yang berlumur cat akrilik itu bahkan kerap menyapu jari Elda.

Bagi Elda, dalam melukis, jari sangat berguna sebagai pembatas atau pembentuk bulatan agar gerakan kanvas terarah dan tidak belepotan.

Sesekali ia bertanya pada relawan yang menjadi mentornya tentang kesempurnaan lingkaran yang dilukisnya. “Sudah bulat belum, Kang?” tanya Elda menanyakan hasil lukisannya.

Baca juga : Surabaya Kini Punya Bus Ramah Difabel dan Anti-pelecehan Seksual

Dalam melukis, Elda menggunakan indera peraba sebagai pengganti mata, dan juga imajinasi yang kuat. Meski bulatan itu tak sempurna, namun Elda merasa puas bisa mencurahkan perasaannya melalui lukisan.

Setelah membuat bulatan pertama, Elda kemudian meminta mentornya untuk kembali mencelupkan warna lainnya. Kali ini warna cokelat yang dimintanya. Sebuah lingkaran kembali dibuat Elda di luar warna kuning tadi. Ada beberapa warna yang dilukiskan Elda hingga membentuk sebuah papan panahan yang pernuh warna.

“Saya mencoba menggambar apa yang ada di pikiran, berdasarkan pengalaman saya. Saya menggambar sebuah lingkaran seperti papan target buat panah,” jelas Elda sambil menggerakkan kuasnya, di aula Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Gedung Wyataguna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Jumat (9/2/2018).

Makna warna

Bagi Elda, setiap warna memiliki makna berbeda. Warna hitam dan putih merepresentasikan negatif dan positif yang selalu berdampingan. Elda menyebut hitam dan putih itu adalah pilihan hidup.

“Seperti jalan hidup, kita dikelilingi negatif dan positif, tinggal pilih saja,” jelasnya.

Untuk warna hijau, Elda mengartikannya sebagai pencarian jati diri; merah adalah semangat; biru muda penuh dengan kebebasan namun labil dalam memutuskan; biru tua bermakna dewasa dan matang dalam memilih.

“Kalau merah muda itu menggambarkan keberhasilan sesaat eforia, cokelat itu datangnya konflik baru. Nah, kalau kuning itu keberhasilan. Itu kenapa saya menggambar kuning di pusat lingkaran,” paparnya.

“Lingkaran ini dari yang besar semakin kecil dan terfokus. Seperti kehidupan kita melewati proses, kita semakin maju melesat seperti panah,” tuturnya.

Baca juga : Komedian Gareng Rakasiwi Meninggal Dunia di Yogyakarta

Saat melukis, Elda tampak larut dalam imajinasinya. Setiap lingkaran demi lingkaran ia lukis seakan gambar itu terproyeksi jelas di benaknya. Setelah mengetahui lukisannya telah selesai, Elda terlihat senang.

“Ini pertama kalinya saya melukis, saya sangat senang sekali, kalau bisa sesering mungkin, jadi bisa mencurahkan. Kalau pun tidak dengan kata, setidaknya bisa mencurahkannya dengan kuas. Saya puas,” katanya.

Dari gelap mencari jejak

Acara yang diikuti Elda ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Teman TanpaBatas bekerja sama dengan PSBN Wyata Guna Bandung. Kegiatan yang bertemakan “Dari Gelap Mencari Jejak” ini diikuti oleh puluhan siswa Wyata Guna Bandung.

Salah satu relawan yang ikut menjadi mentor dalam kegiatan melukis difable netra, Imira Kridarah Manda, mengaku pertama kali terlibat dalam kegiatan bersama orang-orang yang berkebutuhan khusus.

Amanda, panggilan akrabnya, menilai, kegiatan ini bisa meningkatkan pemahamannya tentang seni lukis dan difable netra.

Founder Teman TanpaBatas, Gerry Bagus Karang mengatakan, acara ini merupakan salah satu cara untuk belajar memahami sebuah karya seni dari sudut pandang yang berbeda.

“Kami di sini ingin belajar, dan melalui acara ini kita juga menggali potensi dari teman-teman difabel netra melalui karya lukisan mereka,” tutur Gerry.

Baginya, sebuah lukisan tak melulu berbicara soal keindahan visual, tetapi juga tentang rasa.

“Kami percaya teman-teman difable ini lebih tajam kalau berbicara soal rasa, dan bisa berkarya melalui lukisan ini, sehingga bisa menghasilkan sebuah lukisan yang bernilai seni,” ujarnya.

Baca juga : Masuk Rutan Sampang, Penganiaya Guru hingga Tewas Lebih Banyak Diam

Nantinya hasil karya para difable netra ini akan dikurasi oleh para kurator dari ITB. Kemudian hasil dari kurasi ini akan disampaikan untuk menjadi pembelajaran, baik bagi para difable netra maupun anggota dan relawan Komunitas Teman TanpaBatas.

“Sebenarnya kami juga belajar untuk memperluas perspektif karena selama ini perspektif saya pribadi terlalu sempit untuk melihat sesuatu dari sudut pandang saya. Harapannya dengan komunitas ini kita bisa memperluas perspektif dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa,” katanya.

Untuk itu, pihaknya berharap kegiatan ini bisa digelar secara rutin. “Kami dan pihak Wyata Guna akan mengevaluasi kegiatan ini, kalau misalkan memungkinkan (berkelanjutan) kita siap untuk jangka panjang,” katanya.

Juru bicara PSBN Wyata Guna, Suhendar menambahkan, tingginya animo siswa PSBN Wyata Guna untuk mengikuti kegiatan melukis ini memaksa Wyata Guna melakukan proses seleksi ketat. Hal itu karena terbatasnya median kanvas yang disediakan.

“Pesertanya 20 orang dari yang low vision dan total. Awalnya banyak yang mau, tapi karena keterbatasan kita seleksi bagi yang benar-benar berminat saja,” jelasnya.

Menurutnya, kegiatan ini baru pertama kali digelar di Wyata Guna. Pihaknya berharap kegiatan ini menjadi pintu masuk para difabel tunanetra untuk mengedukasi masyarakat bahwa penyandang tunanetra dapat berkarya melalui lukisan.

“Ini suatu hal yang monumental bagi kita. Artinya kalaupun pada akhirnya kita melabrak kacamata awam bahwa lukisan itu identik dengan visual, tapi seperti yang disampaikan Mas Gerry, bahwa ini persoalannya adalah bagaimana memaksimalkan perasaan yang dituangkan lewat imajinasi sehingga terbentuk suatu gambar. Adapun nanti gambarnya seperti apa yang penting ini adalah imajinasi mereka sehingga menghasilkan suatu produk,” katanya.

Kompas TV Seorang seniman yang menggunakan ampas kopi untuk menghasilkan karya seni yang indah seperti lukisan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com