Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Mampu Bayar Kepsek Berstatus PNS, Sekolah di Pelosok Terancam Tutup

Kompas.com - 09/02/2018, 19:12 WIB
Junaedi,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi


POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com – Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Kepala Madrasah, yang menggantikan PMA No 29 Tahun 2014, membuat sekolah-sekolah di pelosok yang mayoritas dikelola masyarakat secara swadaya terancam ditutup karena tak mampu memenuhi standar regulasi pemerintah.

Sejumlah pengelola sekolah swasta di pedalaman Polewali Mandar, Sulawesi Barat, misalnya. Mereka merasa waswas dan mengeluh karena kesulitan memenuhi PMA yang mewajibkan setiap sekolah swasta harus mengangkat kepala sekolah berstatus PNS minimal golongan III C.

Sebagai contoh yaitu pengelola Yayasan Nur Ma’arif yang membina sekitar 200 siswa madrasah tsanawiyah dan aliyah, sekolah setingkat SMP dan SMA, di Dusun Sepang, Kecamatan Luyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Madrasah ini terancam ditutup setelah hampir 20 tahun berkontribusi ikut mencerdaskan anak-anak dan menekan angka anak putus sekolah di pedalaman Polewali Mandar.

Para guru dan siswa merasa khawatir karena tak mampu memenuhi standar PMA yang ditetapkan pemerintah.

Baca juga: Tak Ada Bangku Sekolah, Siswa SD di Perbatasan Nunukan Belajar di Lantai

Ketua Yayasan Nur Ma'Rif Luyo, Hamka Hammanur, menyebutkan, jika regulasi menteri agama ini diberlakukan mulai tanggal 10 Februari 2018, madrasah itu terancam gulung tikar alias ditutup paksa jika tidak diberi kelonggaran bagi sekolah-sekolah swasta di pedalaman.

Padahal, madrasah itu dirintis dari semangat keprihatinan terhadap banyaknya anak-anak desa yang putus sekolah karena alasan biaya mahal dan akses pendidikan ke kota yang jauh. 

Menurut Hamka, lebih dari 20 guru yang selama ini mengabdi bertahun-tahun berstatus guru honorer. Untuk mengangkat kepala sekolah berstatus PNS di Kota Polewali Mandar bukanlah perkara mudah.

Sebab, tidak semua PNS yang berada di sana betah tinggal dan menjalankan fungsi-fungsinya sebagai kepala sekolah, yaitu fungsi kontrol, manajerial, dan pengawasan di pedalaman yang fasilitasnya serba terbatas.

“Ini tidak mudah bagi sekolah pedalaman mendatangkan guru PNS bergolongan III C dari kota. Kalaupun ada yang mau, biayanya mahal dan rasanya kurang efektif orang kota ke pelosok desa jadi kepala sekolah karena sulit menjalankan fungsinya sebagai kepala sekolah,” jelas Hamka Hammanur.

Baca juga: Siswa SD Ini Bertaruh Nyawa Seberangi Sungai dengan Ban demi Sekolah

Lantaran terganjal Peraturan Menteri Agama (PMA) No 58 Tahun 2017 tentang pengangkatan kepala madrasah berstatus PNS minimal golongan III C, sekolah-sekolah pelosok di Polman terancam ditutup karena tak mampu memenuhi regulasi pemerintah.KOMPAS.com/Junaedi Lantaran terganjal Peraturan Menteri Agama (PMA) No 58 Tahun 2017 tentang pengangkatan kepala madrasah berstatus PNS minimal golongan III C, sekolah-sekolah pelosok di Polman terancam ditutup karena tak mampu memenuhi regulasi pemerintah.

Mahalnya biaya pendidikan

Menurut Hamka, jika PMA No 58 diberlakukan secara ketat, sekolahnya akan menciptakan pengangguran puluhan guru honorer yang hanya diberi insentif seadanya. Selain itu, ratusan siswa juga terancam putus sekolah jika sekolahnya benar-benar ditutup karena tak ada alternatif lain.

Hamka menjelaskan, jika keputusan terburuk adalah menutup sekolah yang didirikan secara gratis untuk membantu warga kurang mampu di pedalaman, ia mempersilakan para guru dan siswanya untuk mencari sekolah yang siap menerima sesuai standar PMA.

Namun, menurut Hamka, ini bukan perkara mudah bagi para siswa untuk mencari sekolah baru lantaran tak ada sekolah terdekat dari lokasi tersebut.

Bahkan, di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Nur Ma'arif banyak anak pedalaman yang semula mencoba bersekolah ke Polewali Mandar. Namun, karena terganjal mahalnya biaya pendidikan, banyak siswa terpaksa pulang kampung dan melanjutkan pendidikan di sekolah Nur Ma'arif.

Baca juga: Sekolah yang Gaji Gurunya Rp 30.000/Bulan Ini Juarai Kompetisi Sains

Konsekuensi terburuk jika pemerintah menerapkan PMA No 58, itu berarti sekolah yang tidak memenuhi standar regulasi baru tidak bisa mendapatkan kucuran dana BOS untuk membiayai operasional sekolah, seperti honor guru dan biaya sarana belajar lainnya.

Sementara itu, menurut Hamka, memungut biaya operasional sekolah dari orang tua siswa di pedalaman adalah hal yang tak mungkin. Selain karena bertentangan dengan semangat pendidikan gratis, warga pedalaman yang pendapatannya jauh dari rata-rata sulit diharapkan bisa membiayai operasional sekolah secara rutin.

Hamka berharap, pemerintah selaku regulator pendidikan seharusnya hadir memberi motivasi, inovasi, dan suport kepada sekolah, terutama sekolah-sekolah swasta di pedalaman yang juga berjasa dan berperan aktif membangun sumber daya manusia serta berpartisipasi menekan angka buta huruf dan pengangguran.

Hamka menilai, pemerintah seharusnya hadir mendorong perbaikan sumber daya manusia di perdesaan yang mengalami kesenjangan jauh dari kota, bukan malah mengganjal dengan aturan yang jauh dari semangat Undang-Undang Dasar 1945.

Kompas TV Mereka tidak bisa belajar di dalam ruang kelas sementara waktu karena ruang kelas mereka hancur tergerus arus Sungai Ngegong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com