Odalia menceritakan aktivitasnya sehari-hati. Pada siang hari, ia bersama suami dan anak-anaknya bekerja ladang berkelompok di Kampung Bui. Jika pekerjaan ladang selesai, ia mulai menenun. Begitupun ketika semua orang tertidur, ia melanjutkan menenun di malam hari.
Di pagi hari, Odalia memasak dan menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya. Selain itu, ia juga menimba air minum untuk keperluan masak di rumah. Setelah semua pekerjaan beres, ia melanjutkan tenun di bawah kolong rumah panggung.
“Sewaktu kecil, saya sering melihat mama saya menenun kain tenunan. Pertama-tama saya melihat mama menenun. Setelah itu mama memberikan semangat agar saya belajar menenun," ungkapnya.
Kemudian sang ibu mengajarkan cara menenun dan memraktekkannya langsung. Hingga ia besar dan belum menikah, sang ibu kerap duduk di sampingnya untuk melihatnya menenun.
(Baca juga : Terbang Ke Sumba, Jokowi Hadiri Parade Kuda dan Festival Tenun)
Zaman dulu, syarat seorang perempuan bisa menikah apabila bisa menenun. Itu merupakan syarat adat yang diwariskan leluhur serta orangtua di kampung-kampung di Kecamatan Elar maupun di wilayah kedaluan Rembong dan Biting.
Kemudian anak mantu Mama Odalia Biba menunjukkan hasil tenunan dari mama mantunya kepada Kompas.com. Kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada.
“Warga kampung Bui, Desa Kaju Wangi menenun kain bermotif Ngada dan Nagekeo tidak terlalu susah serta pemasaran cepat di Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Harga pasarannya bagus dan banyak permintaan dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo," ungkapnya,
Bahkan, banyak warga yang memiliki pelanggan tetap. Pembeli biasanya datang ke penenun, memborong kain dengan harga yang lumayan besar.
Mama Odalia menjelaskan, harga kain tenun Ngada dan Nagekeo bervariasi tergantung kerumitan motif yang dipesan. Biasanya, harga yang ditawarkan berkisar Rp 200.000 hingga Rp 1 juta, untuk kain berukuran 2x4 meter.
Tua Teno Kampung Bui, Desa Kaju Wangi, Geradus Kandang bersama anaknya, Siprianus Dosis menjelaskan, perempuan di desanya turut membantu perekonomian keluarga lewat tenun. "Mereka tidak bersandar sepenuhnya pada penghasilan suami mereka,” jelasnya.
Nyali Besar
Menjelajahi Kecamatan Elar dan Elar Selatan bukan perkara mudah. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk melakukannya.
Hal itu dikarenakan infrastruktur jalan raya di wilayah Elar dan Elar Selatan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT yang masih minim. Hanya sopir yang bernyali besar dan keberanian tinggi yang mampu menjelajahi seluruh desa di kawasan itu.
Apalagi saat musim hujan tiba. Seluruh jalan di pelosok-pelosok desa dan kampung penuh dengan lumpur karena infrastruktur jalan masih tanah.
Ini merupakan suatu tantangan berat bagi seorang sopir dari wilayah itu ketika mengantar penumpang dari dan ke Kota Borong maupun Ruteng.
Seorang sopir yang membawa Kompas.com, Benediktus Adeni menjelaskan, jalan di sana medannya berat. Lumpur dan jalan berlubang menyebar di seluruh pelosok Kecamatan Elar dan Elar Selatan.
“Saya sudah beberapa kali mengantar tamu dan jurnalis untuk meliput wilayah itu. Namun, sampai saat ini belum ada perubahan yang maksimal serta belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat,” jelasnya.