Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguak Cerita 6 TKW, Korban Perdagangan Manusia Asal NTB

Kompas.com - 06/02/2018, 07:02 WIB
Fitri Rachmawati

Penulis

MATARAM, KOMPAS.com - Tidak mudah membongkar sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Nusa Tenggara Barat (NTB). Beragam cara, dilakukan para tekong yang merupakan bagian dari sindikat internasional, untuk mengelabui petugas.

“Kami berusaha keras membongkar jaringan ini, sampai saat ini kami juga masih melakukan pengembangan,” kata Kasubdit IV Direskrimun Polda NTB, AKBP I Made Pujawati, Senin (5/2/2018).

Pada Kompas.com, Pujawati mengaku harus turun sampai ke negara Turki melakukan penyelidikan.

“Saya sepekan di Turki, bukan main sulitnya membongkar ini. Karena kita harus berkoordinasi dengan aparat Kepolisian Turki. Lokasi penampungan yang kami curigai, tak bisa tembus, sulit sekali. Namun KBRI bisa mengatasi kesulitan kami,” tutur Pujawati.

(Baca juga : Kondisi TKW Sitiyah yang Disiksa Majikan di Malaysia Membaik )

Hingga akhirnya, tim penyidik Polda NTB berhasil menangkap dua tekong berinisial SU (40), asal Dompu dan UA (45) asal Bima. Mereka berdomisili di Jakarta. 

Keduanya terbukti melakukan TPPO terhadap 6 orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang akan dikirim ke Turki (Timur Tengah) dengan gaji cukup menggiurkan. Sebanyak Rp 4 juta per bulan, tanpa potongan. Namun, gaji itu hanya tipuan belaka. 

“Mereka dijanjikan bekerja di Turki dengan iming-iming gaji hingga Rp 4 juta, tanpa potongan. Karena percaya, para korban akhirnya bersedia diberangkatkan ke Turki,” jelas Pujawati.

Ia menceritakan awal dari kasus tersebut. Bermula dari laporan Kementrian Luar Negeri, yang meminta Polda NTB untuk mengidentivikasi 6 orang TKW asal NTB yang melarikan diri dari tempat penampunganya di Turki dan kembali ke Indonesia 25 Desember 2017.

“Kami langsung melakukan pemeriksaan dokumen para korban dan 16 orang saksi. Setelah itu kami bergerak menyelidiki kasus. Saya juga langsung turun ke Turki.  Dalam seminggu kami bisa tangani kasus ini dan menangkap tekongnya,” ungkap Pujawati.

(Baca juga : Sebulan Jadi TKW di Malaysia, Titik Tewas Kecelakaan )

Saat digelandang, SU yang mengenakan jilbab orange senada dengan baju tahanannya. Sedangkan AU, dipapah karena mengaku sakit kaki. Ia berjalan tertatih-tatih. Kedua tekong ini sama-sama menunduk menghindari kamera wartawan.

Kaki AU yang sakit, dipakaikan sandal jepit warna biru. Sambil tertunduk, AU mengaku aksinya merekrut warga Bima dan Dompu untuk dikirim ke Turki, belum lama. “ Tumben saya, baru sekali ini saja, hanya 10 orang yang saya kirim,” ucapnya.

AU juga mengaku diperintah seseorang yang disebut sebagai tetangganya.

 

Ilustrasi TKIKompas.com/ERICSSEN Ilustrasi TKI

 

Disekap dan Disiksa

Dalam melakukan aksinya, AU dibantu SU yang berperan meyakinkan korban agar bersedia dikirim ke luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Selain itu, AU yang berdomisili di Jakarta, membuat korban yakin dengan janji AU maupun SU.

Keduanya mengaku, kerap mendapatkan order mencari perempuan untuk diberangkatkan ke Timur Tengah. Walaupun beberapa negara di Timur Tengah masuk dalam moratorium pengiriman TKI, khsususnya pembantu rumah tangga.

Dari hasil investigasi, sambung Pujawati, setelah korban tiba di Turki, bukan pekerjaan dan perlindungan yang mereka dapat. Tetapi perlakuan kasar dan penyiksaan fisik.

“Dokumen mereka dirampas oleh agen dan ditempatkan di penampungan. Bukan dipekerjakan, mereka disekap selama 1,5 bulan, hingga berhasil melarikan diri dan minta perlindungan ke KBRI,” tuturnya.

(Baca juga : Telepon Kakaknya, TKW Ini Mengaku Disiksa Majikan di Arab Saudi )

Selain untuk pengembangan penyelidikan, Pujawati berharap, media tidak mengekspose nama keenam korban atau TKW yang berhasil melarikan diri. Itu dilakukan demi keselamatan mereka dan TKW lainnya yang masih berada di tempat penampungan.

Saat ini, aparat telah mengantongi sejumlah barang bukti, berupa boarding pass tiket pesawat keberangkatan korban, dan paspor masing-masing korban, yang sempat direbut jaringan agen internasional di Turki.

Untuk penanganan enam korban, Polda NTB menyerahkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) NTB. Mereka akan membantu mengatasi trauma enam korban TPPO yang disekap selama 1,5 bulan di tempat penampungannya di Turki.

Kepala P2TP2A NTB, Ratnaningdiah mengatakan, timnya berupaya memulihkan fisik dan psikis korban. Karena keadaan para TKW tersebut sangat memprihatinkan.

“Setelah disekap 1,5 bulan, mereka pulang dalam keadaan sangat lemah dan lusuh. Hanya dengan baju tersisa di badan, mereka melarikan diri dari tempat penampungan," tuturnya.

Ratnaningdiah menjelaskan, dua dari enam korban adalah sarjana kesehatan dan seorang bidan. Mereka pergi ke Turki karena tergiur dengan janji muluk sang tekong sebagai tenaga kesehatan di Turki.

(Baca juga : TKW Asal Madiun Meninggal di Taiwan)

Saat ini, lanjut Ratna, trauma para korban tengah dipulihkan. Mengingat tidak mudah bagi para korban melupakan peristiwa yang menakutkan mereka selama dalam sekapan di tempat penampungan.

Kini, para pelaku dijerat pasal 10 dan 11 junto pasal 4 UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau melakukan permufakatan jahat TPPO ke luar negeri.

Ancaman hukumannya 3 hingga 15 tahun penjara dengan denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta rupiah. 

Apakah hukuman tersebut cukup memberikan efek jera? Yang pasti, kisah pahit para pahlawan devisa ini masih membutuhkan keseriusan penanganan aparat Kepolisian dan pemerintah, agar nasib para TKI tak hanya berakhir memilukan. 

Kompas TV Perdagangan manusia hantui warga Rohingya di pengungsian Banglades.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com