Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal “Kotekan”, Tradisi Selamatkan Bulan Saat Terjadi Gerhana

Kompas.com - 01/02/2018, 08:54 WIB
Andi Hartik

Penulis

Kompas TV BMKG mengimbau warga di pesisir tak khawatir, tetapi tetap waspada mengantisipasi dampak gerhana bulan.

Untuk mengusir raksasa tersebut, masyarakat Jawa mengejarnya dengan membuat keributan melalui bunyi-bunyian. Setiap peralatan yang menimbulkan bunyi dibawa sembari ditabuh.

Ketika itu, masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa raksasa yang menelan bulan itu akan takut dengan suara tetabuhan tersebut.

"Bunyi-bunyian itu dimaksudkan sebagai gambaran masyarakat berusaha menyelamatkan bulan supaya tidak ditelan seluruhnya oleh Kala Rahu," ujar Dwi.

"Sehingga masyarakat beramai-ramai untuk mengejar Kala Rahu bersama-sama sembari membunyikan alat yang bertalu-talu, untuk menggambarkan suasan hiruk pikuk dunia yang mengejar Rahu supaya memuntahkan bulan atau matahari dan supaya dunia tidak dalam keadaan gelap," jelasnya.

Dwi menambahkan, setiap alat yang menimbulkan bunyi bisa ditabuh, termasuk lesung dan alat-alat lainnya.

"Jadi sebenarnya alat yang digunakan untuk sumber bebunyian itu tidak harus alat-alat dapur. Peralatan apa pun yang bisa menjadi sumber bunyi. Waktu itu, alat yang mudah didapat adalah alat-alat dapur," ucapnya.

Baca juga: Saat Gerhana Bulan, Kesenian Tradisional Ini Pun Tarik Perhatian Warga Makassar

Adapun tradisi mengejar raksasa dengan bunyi-bunyian itu diyakini sudah ada sejak awal abad ke-11 Masehi. Sebab, waktu itu diyakini terjadi fenomena gerhana. Hal itu ditunjukkan dengan bukti visual atau relief gerhana di Candi Belahan atau Candi Sumber Tetek di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.

"Ada kemungkinan tradisi mengejar Rahu dengan menabuh bebunyian itu sudah ada waktu itu. Sayang, bukti visualnya (tradisi mengejar Batara Kala) kita belum dapat," tutur Dwi.

Bagi masyarakat terdahulu, bulan purnama merupakan waktu yang istimewa. Sebab, penerangan pada malam hari masih terbatas.

Dengan demikian, masyarakat sangat merasakan cahaya bulan yang bersinar penuh. Sehingga, terjadinya gerhana sangat dirasakan oleh masyarakat. Alam yang terang oleh cahaya bulan tiba-tiba gelap oleh gerhana.

Namun, tidak dengan saat ini. Masyarakat, khususnya yang hidup di perkotaan, sudah tidak begitu merasakan sinar bulan tersebut. Sebab, pencahayaan lampu sudah melebihi pancaran sinar bulan.

"Dahulu bulan purnama itu merupakan momentum yang istimewa. Peristiwa yang ditunggu-tunggu. Ketika bulan ditelan oleh Rahu, sedihlah masyarakat itu. Sebab, malam yang harusnya terang menderang jadi gelap gulita," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com