Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Ikatan Budi Ibu, Semangat Bundo Kanduang yang Berhimpun di Ibu Kota

Kompas.com - 20/01/2018, 14:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 

MENJADI perantau adalah jiwanya orang asal suku Minang di Sumatera Barat. Bahkan, para tetua di sana sering sekali berpetitih: lelaki Minang belum menjadi lelaki sesungguhnya kalau ia belum merantau.

Tetapi, ternyata pengalaman menjadi perantau atau diaspora (bahasa zaman now), bukan monopoli para lelaki saja. Para perempuan Minang pun ternyata menjadi pelakunya.

Mereka dengan berbagai alasannya merantau sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bahkan sejak puluhan tahun lamanya.

Ikatan Budi Ibu, organisasi wadah para ibu perantau Minang ini menjadi saksi karya para perempuan ini. Sambil merantau, mereka berdayakan keluarga dan masyarakat.


Jejak para perempuan perantau

Siang 16 Januari 2018, di sebuah restoran di daerah Warung Buncit, Jakarta Selatan, sekitar 100 orang ibu-ibu lansia berseragam batik tanah liek. Batik langka hasil produksi daerah Silungkang, Sumatera Barat.

Mereka berpelukan, melepas kangen, bermain Kim dan bernyanyi Minang juga lagu-lagu tempo dulu. Dari celotehannya jelas terdengar bahasa Minang yang ditingkahi tawa berderai.

Ya, mereka memang para ibu asal ranah Minang yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan Ikatan Budi Ibu (IBI). Hari itu mereka bersyukur, ternyata telah panjang perjalanan organisasi ini: 62 tahun.

Bermula pada 15 Januari 1956 di tengah kota Jakarta, persisnya di daerah Menteng, sebuah ajang silaturahmi terjadi antara para ibu perantau ranah Minang ini. Mereka yang bermukim di Jakarta karena berbagai tujuan, yang terbanyak menemani para suami yang dikirim bertugas.

Rindu kampung pastilah segera datang. Maka, ajang ini mulanya bertujuan sederhana: sebagai pelepas rindu pada kampung halaman dan sanak saudara di sana.

Penggagas IBI adalah Ibu Khamsiah Abdul Hadis. Mulanya cuma sebagai pelepas kangen dan silaturahmi, wadah ini kemudian berkembang menjadi terobosan berbagai kegiatan.

Tujuannya berbagi pengetahuan dan siapa tahu bisa membuat perempuan dan keluarganya lebih berdaya.

Menurut Hj Elly Soetarno (76), Ketua bidang Organisasi IBI yang juga salah satu anggota angkatan pertamanya, perantau ranah Minang sangat terkenal dengan falsafah hidupnya “Di Mana Bumi Dipijak, di Sana Langit Dijunjung”.

Ibu Hj. Elly Soetarno, pengurus Ikatan Budi Ibu.Dok Imelda Bachtiar Ibu Hj. Elly Soetarno, pengurus Ikatan Budi Ibu.
Maka, seperti itulah juga falsafah para ibu IBI. Mereka kemudian berkembang, membuka diri dan melakukan kegiatan yang manfaatnya terasa manfaatnya bagi masyarakat, khususnya masyarakat Minang perantauan di Jakarta.

Berbagai lomba mulai dari membaca Al Quran, memasak, kecantikan dan tata busana, seringkali diadakan sebagai alat menambah keterampilan yang juga bisa memberdayakan ekonomi keluarga. Sebuah koperasi simpan pinjam untuk memberdayakan keluarga juga dibentuk.

Ikatan Budi Ibu juga menjadi tali penghubung antara Jakarta dan kampuang nan jauh di mato. Antara lain, mereka menjadi penggalang dana bagi para santri Minang dari Parabek, sebuah kampung di antara Padang Panjang dan Bukittinggi yang menjadi pusat pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Para calon guru agama terbaik dari sini, rutin dikirim belajar ke Mesir.

Ibu Elly yang bersuara merdu ini juga berkisah bahwa periode tahun 1979-1984, ketika IBI dipimpin Hj Erna Irdam, IBI berkembang menjadi organisasi yang mapan dan berusaha membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang sempurna sebagai bekal organisasi ini memiliki badan hukum.

Baca juga : Ketika Orang-orang Minang Sempat Takut Memakai Nama Asli Daerah

Upaya ini terwujud pada 16 Februari 1988 dengan aktivis IBI ketika itu adalah Ibu Sadikin, Ibu Eliza Halim, Ibu Titis Bustaman, Ibu Tati Amir, Ibu Erru Joko, Ibu Muaz Hamid, Ibu Ida Azhari, Ibu Puti Abu Bakar.

Saat itu, IBI sudah mempunyai cabang di pelosok-pelosok Jakarta dan terdaftar pada Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Masa emas IBI boleh dikatakan adalah periode 1998-2008, ketika IBI di bawah kepemimpinan Ibu Hj Irma Ainil. Anggota bertambah sangat pesat.

Harapan untuk sebanyak-banyak merangkul kaum ibu asal Minang di Jakarta. Anggotanya bukan lagi hanya yang asal Minang, tetapi juga keturunan, menikah dengan urang awak atau para simpatisan.

Uniknya, dalam catatan Ibu Elly, grup-grup kecil IBI yang terserak di seluruh penjuru Ibu kota ini menamakan dirinya seperti nama-nama legenda Minang. Mulai dari ”Puti Bungsu”, “Sabai nan Aluih”, “Siti Nurbaya”, “Ambunsuri”.

Yang menyanyi, yang bersuara merdu. Para pengurus Ikatan Budi Ibu, Januari 2018.Dok Imelda Bachtiar Yang menyanyi, yang bersuara merdu. Para pengurus Ikatan Budi Ibu, Januari 2018.
Ada lagi nama “Kurai” dan “Simpang Ampek”, yang pasti sudah asing lagi. Selain menjadi ciri khas, ini juga upaya mendekatkan trah dan nasihat baik dari leluhur kepada anak cucu.

Pada masa Ibu Ainil inilah dibentuk YAYASAN IBU yang utamanya untuk memudahkan menghimpun dana dan santunan. Kemudian IBI diakui dan diterima masuk dalam daftar Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) se DKI Jakarta sebagai anggota ke-11.

Dalam catatan IBI, mereka satu-satunya organisasi perempuan Minang dalam daftar ini. Beberapa anggota pun menjadi pengurus BKOW, antara lain: Ibu Ana Firdaus dan Ibu Lina Marlenia.

Kegiatan demi kegiatan yang terus bergulir kini lebih difokuskan pada berbagai bakti sosial dan penghimpunan dana para perantau untuk dimanfaatkan bagi sekolah dan panti asuhan. Sebagian dana dikembalikan lagi ke kampung dalam bentuk santunan sekolah dan beasiswa.

Ibu Arnila Muchlis, Sekretaris Umum sekaligus Ketua Koperasi Simpan Pinjam IBI bercerita bagaimana menarik minatnya kegiatan koperasi ini. “Semoga nanti juga ada anak muda Minang yang menjadi penerusnya,” kata ibu yang termasuk pengurus IBI yang berusia muda.

Jalan sejarah IBI pastilah masih panjang. Dan dari organisasi ini kita semua bisa mencontoh semangat berkarya, semangat persaudaraan serta semangat membantu dan tolong-menolong tanpa pamrih. Seperti mars yang selalu mereka nyanyikan di awal setiap pertemuan.

Dengan semangat bundo kanduang
Ikatan Budi Ibu berkarya
Menggalang tali persaudaraan
Memberi amal bakti yang nyata
Ikatan Budi Ibu wadah kita
Sama kita bina persatuan
Bersatu padu menuju cita, tanpa mengharap jasa
Hanya padaMu Tuhan kami mohon restu-Mu
(Cuplikan dari Mars Ikatan Budi Ibu)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com