Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang Lewati Sungai dan Lumpur, Pasangan Ini Akhirnya Bisa Menikah

Kompas.com - 18/01/2018, 18:10 WIB

BANJARNEGARA, KOMPAS.com - Tidak pernah terbayang bagi pasangan calon pengantin Nur Khasanah (20) dan Bies (28) bahwa menjelang pernikahan mereka, Senin (15/1/2018), diwarnai berbagai halangan.

Salah satunya yaitu faktor alam. Adanya pergerakan tanah di Dusun Pramen, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, mengakibatkan warga di desa tetangganya, Desa Suwidak, menjadi terisolasi.

Akses keluar masuknya warga jadi terhambat, misalnya untuk kegiatan ekonomi, sekolah, administrasi kependudukan, termasuk pernikahan.

Nur Khasanah dan Bies datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) Wanayasa pada Jumat (5/1/2018) untuk mendaftarkan rencana pernikahan mereka.

Akad nikah pun dijadwalkan pada 15 Januari 2018, bersamaan dengan resepsi pernikahan yang akan digelar di rumah mempelai perempuan, di Dukuh Buana, Desa Suwidak.

Namun, takdir tak bisa diperkirakan. Dua hari kemudian, Minggu (7/1/2018), bencana alam melanda wilayah tersebut.

Puluhan hektar kebun warga di Dukuh Pramen, Desa Bantar, longsor hingga memutus jalan kabupaten yang menghubungkan Desa Suwidak dengan desa lain.

Baca juga: Viral, Pengantin Pria Pingsan Seusai Peluk Mantan yang Nyanyi di Pernikahannya

Sebagian wilayah Desa Suwidak di bentang alam yang sama pun ikut mengalami pergerakan hingga sejumlah rumah mengalami kerusakan.

Padahal, dua pihak keluarga telah merencanakan acara pernikahan secara matang. Semua persiapan sudah disusun, termasuk undangan yang siap disebar.

Tak mungkin pernikahan ditunda begitu saja. Di lain sisi, bencana alam pun tidak diketahui sampai kapan akan berakhir.

Mereka memutuskan tetap akan menggelar pernikahan tanpa mengubah jadwal.

"Karena sudah dijadwalkan akad nikahnya tanggal itu dengan penghulu, persiapan sudah semua. Jadi enggak mungkin diubah lagi," kata Endang Pujiastuti, kakak Nur Khasanah, Kamis (18/1/2018).

Mereka pun menyadari bahwa konsekuensi menikah di tengah kondisi desa yang masih terisolasi dan terancam pergerakan tanah.

Masalah soal penghulu dan tempat pernikahan 

Hingga hari pernikahan itu tiba, Senin (15/1/2018), rumah mempelai perempuan di Dukuh Buana, Desa Suwidak, itu mulai ramai didatangi tamu.

Ijab kabul keduanya dijadwalkan pukul 07.00 WIB, kemudian dilanjutkan dengan acara resepsi pukul 09.00 WIB.

Sang penghulu dari KUA direncanakan datang ke tempat pernikahan lewat jalur alternatif melalui Desa Karang Tengah Suwidak karena jalan utama longsor.

Namun, meski pagi mulai beranjak, sang penghulu dari KUA Kecamatan Wanayasa belum juga datang. Keluarga mulai cemas, pasangan pengantin pun terlihat lebih panik.

Sementara itu, para tamu undangan telah duduk rapi dan menunggu rangkaian acara dimulai.

Komunikasi dengan penghulu sulit dilakukan karena jaringan seluler di desa terpencil itu putus-putus.

Setelah komunikasi dengan penghulu tersambung, mereka berupaya mencari jalan keluar. Ternyata penghulu masih terjebak di Dusun Beji, Desa Karang Tengah.

Kendaraannya tak bisa masuk ke Desa Suwidak karena jalur alternatif via Dusun Beji susah ditaklukkan.

Panitia sempat berupaya menjemput penghulu menggunakan sepeda motor trail yang mampu menembus medan sulit. Namun, hal itu urung dilakukan karena kondisi jalan terjal dan berlumpur.

"Penghulunya masih di Dusun Beji, enggak bisa masuk ke Suwidak. Jalan alternatifnya sulit dijangkau," ujar Endang.

Baca juga: Kerukunan di Desa Keberagaman, Tempat Ibadah Berdekatan dan Pernikahan Beda Agama Sudah Biasa

Hari mulai beranjak siang. Acara pernikahan sudah dipastikan molor. Bagaimanapun, akad nikah yang menjadi inti acara harus tetap dilangsungkan.

Akhirnya sang pengantin memutuskan menjemput penghulu di desa seberang untuk mengesahkan perkawinan mereka.

Acara ijab kabul di rumah terpaksa dipindah ke tempat yang belum diketahui di desa tetangga.

Mulanya pengantin akan diantar menggunakan trail untuk bertemu penghulu di Dusun Beji.

Namun, medan jalan alternatif sejauh sekitar 1,5 kilometer menuju dusun itu becek dan berlumpur.

Jika sampai terpeleset dan jatuh, masalah bagi pengantin akan lebih fatal karena badan sakit hingga kostum pengantin belepotan tanah.

Pasangan ini akhirnya mengalah pada keadaan. Mereka memutuskan untuk menaklukkan medan itu dengan berjalan kaki. Sepatu pengantin dilepas, berganti dengan sepatu boot yang lebih cocok dengan medan tersebut.

Mereka harus berjuang menaklukkan medan terjal dan berlumpur demi satu tujuan, yaitu menghalalkan cinta sebagai sepasang suami istri yang sah.

"Kondisi jalan kayak gitu, kalau paksa pakai motor bisa jatuh," ucapnya.

Karena acara di luar rencana, masalahnya kemudian adalah tempat untuk menggelar akad nikah di dusun orang. Untungnya, seorang petani yang hendak pergi ke ladang, Sukamto, memahami kondisi pengantin yang nelangsa itu.

Di rumah petani itu, mereka berhasil menggelar acara ijab kabul secara sederhana. Perjuangan pasangan mempelai ini akhirnya berakhir bahagia dengan status baru yang disandang sebagai suami istri.

"Meski acara molor, tidak masalah. Yang penting mereka sah dan resepsi bisa dilangsungkan kemudian," ujar Endang.

Baca juga: Cerita Mempelai Pria Berjuang Hafal Pancasila Semalaman demi Nikahi Kekasih

Perjuangan mempelai pria, Bies, dan keluarganya untuk sampai ke rumah mempelai perempuan di Desa Suwidak ternyata juga tak mudah.

Rombongan pengantin pria dari Desa Nagasari, Kecamatan Pagentan, ini tak bisa mengakses desa pengantin perempuan karena jalan utama putus. Sementara jalan alternatif susah dilalui.

Iring-iringan pengantin pria itu akhirnya memilih mengambil rute yang tak biasa. Mereka harus mengarungi jalur hutan, lalu menyeberang Sungai Merawu yang menghubungkan ke Desa Suwidak.

Naas, tidak ada jembatan yang bisa dipakai untuk menyeberang. Mereka harus turun ke sungai beraliran deras, lalu mengarunginya agar sampai ke tepi sungai di daratan seberang.

"Harus menyeberang sungai yang tidak ada jembatannya karena tidak ada jalan lain," katanya.

Pasangan Nur Khasanah dan Bies, asal Desa Suwidak, Kecamatan Wanayasa, harus berjibaku dengan lumpur untuk bertemu dengan penghulu di desa seberang.

Kepala Desa Suwidak Arif Santosa mengatakan, kesulitan yang dialami pasangan pengantin di desanya ini mewakili kesusahan warga satu desa yang menderita karena daerahnya terisolasi.

Karena keterisolasian ini, warga susah mengakses kebutuhan pokok, mengurus bermacam kebutuhan ke luar desa, mengirim hasil pertanian, hingga mengakses pendidikan bagi anak-anak yang bersekolah di luar desa.

Karena itu, warga berharap agar jalan alternatif melalui Desa Karang Tengah diperbaiki hingga layak dilalui kendaraan. Sebab, jalan utama tak memungkinkan dilakukan perbaikan karena beberapa titik lenyap terbawa longsor. 

"Warga berharap jalan akses bisa dilalui kendaraan baik motor maupun mobil agar tak terus terisolasi," kata Arif.

Kompas TV Uniknya lagi, penyerahan formulir pendafatarn dilakukan secara akad ijab kabul.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com